Akik Najwa Ba Alwi

Spread the love

Oleh: Faisol Ramdhoni*

Rumah kayu itu berdiri miring di pinggiran Karangantang, kampung tua yang dikepung sawah, laut, dan doa-doa yang belum sempat jadi kenyataan. Rumah itu bukan istana, tapi memiliki keheningan yang lebih lapang dari istana mana pun. Di situlah Ba Alwi tinggal bersama cucunya yang yatim piatu. Anak kecil itu masih tujuh tahun, tapi seolah menyimpan usia dari luka orang dewasa: tenang, diam, dan penuh tanya yang tak pernah diucapkan.

Mereka berdua seperti puisi sunyi yang terus dibacakan tanpa perlu dipublikasikan. Kehidupan mereka sederhana, nyaris asketik. Tapi dari kesederhanaan itu tumbuh semacam keberlimpahan: keberlimpahan makna

Nama lengkapnya Mohammad Alwi Abdul Azis. Nama itu diberikan oleh ayahnya sebagai penghormatan kepada seorang ulama besar: K.H Alwi Abdul Azis—tokoh yang memberi nama Nahdlatul Ulama. Bagi Ba Alwi, nama itu adalah warisan dan doa yang terus hidup dalam deru napasnya.

Saat masih muda, Ia disebut Mat Alwi-sebagaimana lazimnya orang Madura yang gemar menyingkat nama- Mohammad disingkat Mat, Baharuddin menjadi Brodin, Azisah menjadi Siseh- Baru setelah menunaikan ibadah haji, ia mendapatkan gelar sebutan Aba disingkat Ba.

Ba Alwi—lelaki yang rambutnya telah dikuasai uban, tapi matanya masih bersinar seperti langit pagi—bukan orang penting, bukan ustaz besar, bukan tokoh masyarakat. Ia hanyalah penjaga batu. Tukang akik.

Di ruang tengah rumahnya yang lebih menyerupai bengkel, berdiri deretan mesin: gerinda, poles, bor duduk, dan rak berisi batu akik dari berbagai penjuru tanah Jawa. Kecubung dari Kalimantan, pancawarna dari Garut, bacan dari Halmahera, sampai batu-batu aneka gambar dari Pacitan yang ia kumpulkan dari tanah perbukitan.

 “Batu ini bukan hiasan,” kata Ba Alwi, sambil mengangkat batu kecubung ungu. “Ini doa yang mengeras”

Bagi Ba Alwi, batu bukan sekadar benda mati. Batu adalah bahasa. Ia percaya bahwa makam-makam para waliyullah memiliki keberkahan, sebagaimana batu akik pun bisa memancarkan keberkahan jika dilihat dari mata hati.

Sebab keberkahan, atau al-barakah, adalah sesuatu yang mendatangkan kebaikan, kenikmatan, dan manfaat dalam hidup manusia. Dalam Al-Qur’an, keberkahan disebut dalam banyak bentuk: barakna, mubarakah, mubarakan, tabaraka, dan lainnya. Semuanya merujuk pada sumber Ilahiah. Bahkan Ka’bah yang terbuat dari batu, dan Hajar Aswad yang berasal dari surga, menjadi bagian dari tabarruk—sarana mencari berkah.

Kisahnya sempat jadi buah bibir. Suatu waktu, ia menghilang seminggu penuh. Ada yang bilang ia menarik batu merah delima dari kawah Semeru. Ada pula yang menduga ia pergi menyepi ke pantai selatan untuk bertemu Nyi Roro Kidul.

Sebenarnya, ia sedang berziarah bersama cucunya, naik motor butut hasil pinjaman dari tetangga, dari Makam Syaikhona Kholil ke Makam Sunan Ampel, Makam K.H Hasyim Asyari dan Gus Dur, lalu ke Maulana Makdum Ibrahim, Sunan Giri, Syekh Jumadil Kubro, Sunan Drajat hingga ke Sunan Bonang.

Di setiap makam para Kekasih Tuhan itu, ia bertawasul, bersujud, dan memungut serpih-serpih berkah. Ia menempuh riyadhoh sunyi demi mendekatkan diri kepada Sang Maha, berharap agar usahanya diberkahi dan cucunya tumbuh menjadi lelaki yang tangguh dan bertakwa.

Malam itu, angin laut Tuban berembus pelan, membawa harum bunga kenanga dan sisa doa yang belum sempat naik ke langit. Di pelataran makam Sunan Bonang   -ziarah terakhir dalam perjalanannya-cucunya tertidur di pangkuannya, dalam damai yang seperti dikayun angin langit. Ba Alwi bersandar lelah pada tembok pusara, matanya perlahan terpejam. Di kejauhan, zikir masih bergema, menyusup ke sela dedaunan dan langit malam yang khusyuk. Dalam tidur yang bening, mimpi pun datang—membawanya ke ruang cahaya yang tak dikenal bumi, tapi dikenali oleh jiwanya.

Dalam mimpinya, ia didatangi sosok berjubah putih, wajahnya bercahaya, membawa tasbih dan harum langit. Sosok itu memperkenalkan diri sebagai kakek buyutnya, Pangeran Karangantang. Ia berkata,

 “Alwi, jangan hanya mengukir batu akik. Ukirlah batu nisan. Hormatilah para leluhurmu. Di antara batu-batu itu, akan kau temukan batu hitam bermata. Itulah Najwa. Ia akan membawamu ke tanah suci.”

Sebulan setelah mimpi itu, Ba Alwi berkunjung ke Pasar Kayoon, tempat yang dikenal pusatnya batu akik dan permafa  Surabaya. Di sana, di lapak kecil di sudut selatan, ia melihat bongkahan batu hitam legam. Bentuknya kasar, tapi menarik hati. Setelah dibeli dan dibawa pulang, ia poles semalaman. Saat debu batu menghilang, muncullah pola di tengahnya: seperti mata. Mata yang tidak asing, seolah pernah dikenalnya dari masa sebelum kelahiran.

Batu itu menyebarkan cerita. Seorang jenderal di Jakarta mendengar kabar tentang “Najwa”, dan mengutus empat orang datang.

Para utusan itu duduk di kursi tua warna coklat pekat di serambi rumahnya. Setelah Ba Alwi keluar dan duduk di depan meja yang mulai dimakan rayap. Salah satu dari mereka mengangguk sopan.

“Apakah Anda yang disebut Ba Alwi—penjaga batu?”

Pertanyaan itu sederhana, tapi angin mendadak berhenti berhembus. Waktu seakan menahan napas.

“Ada yang sedang mencari batu,” lanjut lelaki itu. “Batu hitam legam, bermata di tengahnya. Ia disebut Najwa—bisikan rahasia dari langit. Batu itu bukan sekadar batu. Ia adalah ‘ain al-bashirah’—mata batin yang mampu menangkap isyarat dari alam ruh.”

Suasana berubah sunyi seperti musala menjelang tahajud. Ba Alwi menatap mereka. Kata-kata mereka seolah menjawab pertanyaan dari mimpinya. Ia tahu, batu itu bukan lagi miliknya. Ia adalah amanah.

Dengan gerakan perlahan, seperti menyingkap hijab, ia membuka kain putih dari sakunya. Batu itu ia letakkan di atas meja kayu. Gelapnya dalam, dan di tengahnya, guratan seperti mata yang tidak hanya melihat, tapi seolah mengingat.

Para tamu menunduk, nyaris khusyuk. Salah satunya mengeluarkan ponsel, memotret dan mengirimnya. Hening berlangsung lama hingga ponsel itu berdering. Lelaki yang menerima panggilan tak segera bicara. Ia mendengarkan, kemudian menatap Ba Alwi dengan mata yang berkaca, seperti anak kecil yang menemukan kembali doa yang sempat hilang.

“Bapak Jenderal mengucapkan salam hormat. Beliau telah menanti batu ini selama bertahun-tahun. Ia menyebut batu ini sebagai kunci—bukan untuk membuka dunia, tapi membuka dirinya sendiri. Beliau memohon agar batu ini diserahkan. Dan sebagai bentuk penghormatan, beliau akan menghajikan Bapak. ONH Plus. Tahun depan. Semua ditanggung. Semua didoakan.”

Ba Alwi menunduk. Tapi dalam hatinya, sujud terjadi. Air mata tak jatuh di pipi, tapi luruh ke dalam dada. Ia tak merasa bangga, tak merasa beruntung. Ia hanya merasa pulang. Mimpi yang dulu turun dari langit kini menemukan jalannya di bumi.

Dan di antara mereka, tak ada yang bicara lagi. Karena dalam diam itu, telah turun satu pemahaman: ada batu-batu yang bukan untuk dijual, tapi untuk disampaikan.

Usai pulang dari tanah suci, dalam zikir dan doa malamnya, suara itu kembali datang. Pesan yang sama: “Jangan hanya ukir batu akik, ukirlah batu nisan.”

Ia teringat makam buyutnya: Pangeran Karangantang. Makam yang pernah diceritakan ayahnya saat Ba Alwi masih remaja. Makam itu berada di kampung sebelah barat, tak begitu jauh dari tempatnya tinggal.

Maka pagi itu, ia menyusuri jalan tanah yang mengarah ke kampung sebelah, melalui pematang sawah dan rumpun bambu. Ia temukan makam tua di bawah pohon beringin yang menjulang seperti tiang langit. Nisan kayunya miring, tulisan arab gundulnya nyaris tak terbaca. Tapi hatinya tahu—di sanalah warisan spiritual keluarganya berakar.

Ia duduk di sisi makam. Membaca Al-Fatihah, lalu menangis dalam diam. Bukan karena sedih, tapi karena malu. Ia sadar telah membiarkan warisan ruhani itu dilupakan, ditinggalkan oleh anak-cucu zaman yang sibuk membangun dunia, tapi lalai menata akhirat. Ia pun bertekad memugarnya.

Langit Karangantang pagi itu tak menunjukkan tanda-tanda perang. Awan menggantung biasa saja. Angin membawa wangi ilalang dan sisa embun dari bukit kecil di timur. Tapi di dalam hati Ba Alwi, ada sesuatu yang tidak biasa. Ia tahu, hari itu bukan sekadar hari memugar makam. Hari itu, ia sedang menggali luka yang lama terpendam di tanah, di dada warga kampung, dan di tubuhnya sendiri.

Sudah seminggu ia menyiapkan semuanya. Semen, bata merah, pasir, cetok, cat putih kapur, bahkan rangka batu nisan dari kayu jati tua. Dibawanya dalam sebuah geledek kayu tua—gerobak sorong beroda satu—berderit pelan, diseret cucunya yang masih kecil namun wajahnya menyimpan kesungguhan orang dewasa. Mereka berjalan pelan menuju makam leluhur—melewati jalan tanah yang basah oleh embun, diapit rumpun ilalang dan bisik pohon-pohon yang sudah tua

“Kenapa kita bangun kuburan, Kek?” tanya cucunya polos di tengah perjalanan

“Karena doa harus punya tempat untuk berpulang,” jawab Ba Alwi, sambil mengelus kepala bocah itu.

Tapi ketika mereka sampai, makam itu tak lagi sepi. Puluhan orang telah berdiri di sana. Beberapa berkacak pinggang, beberapa memegang cangkul, satu-dua merekam dengan ponsel. Raut wajah mereka bukan wajah doa. Tapi wajah yang dilumuri kecurigaan.

Ba Alwi kurang menyadari semenjak kedatangannya di makam itu, di warung kopi dan layar-layar kecil, nama Ba Alwi perlahan berubah di telinga orang menjadi Ba’Alwi.  Satu tanda huruf tambahan yang mengguncang kepercayaan.

Ba’alwi adalah akronim dari Bani Alwi atau Alawi yang berarti keturunan Alwi. Nama Alwi merujuk pada sosok Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dari Hadramaut, Yaman. Nama bani ini kini, di tengah pusaran polemik yang membara di jagad Islam Indonesia lebih dari setahun terakhir—tentang keaslian nasab, sejarah yang digugat, dan politisasi makam—nama itu justru dibakar oleh prasangka

Alhasil, kabar tak butuh waktu lama untuk melesat dan berubah bentuk.

Isu beredar: “Ba’Alwi—keturunan Arab—akan merubah sejarah makam keramat!”Jangan-jangan ini langkah awal politisasi kuburan!”“Lihat tren sekarang, banyak makam fiktif muncul buat tarik pengaruh!”“Nanti kampung kita jadi ajang ziarah internasional!”

“Sudah  kami cium kedatanganmu, Kau ini siapa sebenarnya?” tanya seseorang dari balik kerumunan. Suaranya berat, tapi goyah. “Nama aslimu Ba’Alawi, bukan? Kau keturunan Yaman? Mau apa membangun makam ini tanpa rembug warga?”

Tiba-tiba suasana menjadi lebih panas dari matahari menjelang siang “Ini kampung Indonesia, bukan Hadramaut!” seru yang lain. “Jangan jadikan makam di kampung kami ini menjadi ladang bisnismu!

Suara-suara menuding seperti anak panah yang tak mencari sasaran, tapi membabi buta. Ba Alwi diam. Tapi diamnya bukan diam biasa. Ia seperti batu karang yang menahan gelombang prasangka, bukan dengan perlawanan, tapi dengan doa yang telah diasah dari kesunyian bertahun-tahun, Ia berkata  dengan tenang:

“Namaku Ba Alwi. Aku bukan Ba’Alwi, bukan orang Yaman, bukan juga bagian dari siapa pun yang kalian curigai. Aku datang dari kampung sebelah, darahku mengalir  dari  tanah ini, dan hari ini aku datang bukan untuk mengubah, tapi untuk mengenang. Bukan membawa nama baru, tapi membawa cinta lama.”

“Apa maksudmu ini semua,? Membawa cinta nama banimu?” suara keras terdengar. “Makam ini mau dibangun ulang? Tanpa izin RT? Tanpa rembuk desa?”

“Mau kau jadikan tempat ziarah para hadrami pengaku cicit Nabi? Mau datangkan pengikut dari luar?Mau merubah sejarah makam keramat ini ?” timpal yang lain.

Ba Alwi dengan wajah tenang  menunjuk ke arah makam yang belum dibersihkan itu, lalu berkata dengan suara parau:

“Kalian bilang ini makam keramat? Tapi siapa yang bersihkan tiap malam Jumat? Siapa yang bacakan yasin? Kalian? Atau hanya datang saat ada undangan dan kotak infak? Aku tak ingin menjadikan ini situs besar, aku hanya ingin menjaga silsilah cinta.”

Lalu secara perlahan, Ba Alwi membuka kertas putih kekuningan coretan bapaknya dulu dari sakunya.Silsilah keluarga. Dari Pangeran Gebak, cucu Sunan Kulon.

“Aku hanya cucu dari darah yang telah menanam pohon di tanah ini. Leluhur yang dahulu membabat alas, mengajarkan huruf-huruf al-Qur’an di langgar kecil.” Ungkapnya dengan tenang.

 “Aku tidak sedang mencari jamaah. Aku tidak mau membangun kekuasaan. Aku sedang membangun Kesadaran,” katanya. “Jika kalian ragukan niatku, aku tak akan marah. Tapi jangan curigai doaku. Sebab doa ini, adalah jembatan antara aku dan mereka yang telah pergi lebih dulu.”

Tiba-tiba, seorang pria muda maju. Matanya tajam. Tangannya menggenggam ponsel sambil berkata, “Kamu licik! Bawa-bawa leluhur untuk bawa agenda kelompokmu, aku akan rekam semua ucapanmu. Kalau kau ada maksud tersembunyi, kami punya bukti!”

Ba Alwi tersenyum tipis. “Silakan rekam. Tapi pastikan rekam pula detak jantungku, karena niat ini datang bukan dari lidah, tapi dari hati. Aku bukan menyebar ajaran, aku sedang menambal sejarah

Ba Alwi terdiam sejenak. Kemudian, dengan suara yang lembut namun tegas, ia melanjutkan kata-katanya:

“Tidak masalah jika terjadi perbedaan pendapat mengenai nasab Ba’Alwi sebagai keturunan Rasulullah SAW. Sebab, bicara nasab ada disiplin ilmu tersendiri. Orang boleh berbeda pendapat, si A keturunan atau bukan keturunan Rasulullah SAW. Di sinilah lahir apa yang dinamai ilmu nasab. Tapi ingat yang diajarkan Rasulullah. Tidak usah kita mengklaim diri. Buktikanlah melalui akhlak, melalui ilmu, melalui kasih sayang.”

Warga mulai saling pandang. Sorot mata yang semula tajam mulai melunak pelan-pelan, seolah hatinya disentuh sesuatu yang lembut.

“Dalam berdakwah, Nabi SAW selalu dengan lemah lembut, tanpa kekerasan,” lanjutnya. “Apakah cara kalian ini mencerminkan akhlak Nabi SAW? Kalau kalian takut aku menyimpang, datanglah. Duduklah, bertabayyun, Tapi jangan datang dengan cangkul. Karena cangkul hanya untuk tanah, bukan untuk manusia”

“ Andaipun saya benar berasal dari garis Ba’Alwi seperti yang kalian sangka, apakah semua Ba’Alwi layak dicurigai?  Apakah darah lebih buruk dari perbuatan? “tanyanya sedalam lautan.

Suasana kembali menghangat ketika Seorang perempuan tua berseru, “Dulu bapakku bercerita bahwa buyutnya diajari mengaji sama Pangeran Karangantang. Tapi tidak pernah ada yang bangun apa-apa seperti ini. Kenapa sekarang baru ribut?”

Ba Alwi menatap perempuan itu. “Dulu orang belajar diam-diam, cukup dengan pelita minyak. Sekarang kita punya listrik, tapi tak mampu menyalakan terang di dada. Apakah salah jika aku hanya ingin nisan itu tak tenggelam oleh lumut?”

Saat itu, cucunya menarik-narik sarungnya. “Kek… mereka marah?”

Ba Alwi merunduk. Ia bisikkan sesuatu ke telinga bocah itu: “Kalau kau niat ziarah, jangan takut pada orang marah. Sebab orang yang marah karena ziarah, hatinya sedang kehilangan rumah.”

Lalu, ia kembali angkat suaranya. Pelan tapi mengalir seperti sungai.

“Aku tak ingin kampung ini menjadi kota. Aku hanya ingin tanah ini tidak lupa pada ruh-ruh yang dulu menjaganya. Karena ketika sebuah tanah lupa pada para penabur doa, ia akan menjadi gersang, meski hujan turun setiap hari.”

Hening mendadak turun. Laksana angin mendesir di antara dahan. Suasana yang tadinya riuh berubah menjadi sepi.

Sesaat kemudian, seorang lelaki tua di belakang meneteskan air mata. Ia maju perlahan, meletakkan cangkul, lalu memeluk Ba Alwi.

“Dulu kakek saya ngaji ke kakekmu. Maafkan kami, Aba. Hati kami tadi sedang ditumpangi prasangka.”

Seperti air yang menyiram api, kata itu meluruhkan ketegangan. Wajah-wajah yang tadi tegang mulai menunduk perlahan. Satu persatu cangkul-cangkul diletakkan. Ponsel dimasukkan kembali ke saku. Prasangka dibungkus pulang. Mereka tak langsung meminta maaf, tapi diam mereka adalah isyarat tobat yang paling jujur.

Ba Alwi menatap mereka. Matanya tak menyimpan marah, hanya kelelahan yang telah berubah jadi pengertian. Ia tak mengangguk, tak menegur, hanya menengadah—kepada langit yang semula muram, kini mulai retak oleh cahaya lembut subuh. Di balik kelabu langit dan bening matanya, ia menyampaikan kalimat bukan sebagai sanggah, tapi sebagai serah:

“Biarlah polemik terus bergulir seperti ombak yang mencari tepi. Nama bisa kalian ragukan. Tapi cinta tak pernah butuh klarifikasi. Ia hanya minta disampaikan dengan sabar dan dilahirkan dengan ikhlas.”

Dan hari itu, untuk pertama kalinya, makam dibangun bukan oleh batu, tapi oleh hati. Bukan oleh kuasa, tapi oleh kerendahan. Bukan dengan prasangka, tapi dengan takzim yang lahir dari luka yang disembuhkan bersama.

Tiga hari kemudian, nisan itu berdiri dalam diam yang agung. Tanpa marmer mahal, tanpa ornamen rumit. Hanya batu sederhana yang dibentuk dengan tangan yang pernah memoles akik dan hati yang telah ditempa perjalanan. Tapi nisan itu bukan sekadar tugu. Ia adalah doa yang telah mengeras dalam bentuk paling sunyi. Ia adalah zikir yang membatu agar tak tercecer di tengah zaman yang gaduh.

Ba Alwi mengukirnya perlahan, huruf demi huruf, seolah mengukir kembali luka-luka zaman dan menaburkan pengampunan di sela-sela guratnya. Tak ada yang ia buru dari dunia ini—hanya ingin agar saat dirinya kelak menyusul, ia tak dibicarakan sebagai siapa-siapa, tapi dikenang sebagai seseorang yang menjaga jejak cintanya pada para leluhur dan langit.

Di atas batu nisan itu, ia tuliskan:

“Jangan kumpulkan batu untuk sombong. Ukirlah batu untuk mengenang.
Sebab kelak, kita pun akan kembali menjadi batu nisan.”

Dan tepat di bawahnya, kalimat terakhir itu ia goreskan seperti bisikan batin yang akhirnya menemukan rumahnya:

“Batu yang hidup bukan yang keras, tapi yang menyimpan langit dalam diamnya.”

Ia menatap nisan itu lama. Angin sore berhembus pelan, seperti menyampaikan salam dari mereka yang telah lebih dulu berpulang. Tak ada tepuk tangan. Tak ada sorak. Hanya diam, dan di dalam diam itulah—langit terasa sangat dekat.

*Pwnulis adalah Aktivis dan Pendiri Nahdliyin Bergerak (NABRAK) Madura, Kolumnis di Pelbagai Media Massa.

Di belakangnya, sebuah geledek kayu tua—gerobak sorong beroda satu—berderit pelan, diseret cucunya yang masih kecil namun wajahnya menyimpan kesungguhan orang dewasa. Di atas geledek itu, terikat rapi karung semen, tumpukan bata merah, dan sebakul pasir basah yang ia beli dari toko bangunan di kampungnya. Semuanya ia sewa, serupa dengan hidupnya yang sederhana: tak punya banyak, tapi cukup untuk menunaikan niat.


Spread the love

Related Articles

Latest Articles