Oleh : Faisol Ramdhoni
Suara gamelan dan tabuhan kendang membelah sore di kampung kecil yang dikelilingi hamparan sawah. Hari itu adalah Hari Jadi Desa, saat para tetua adat menggelar selamatan, dan sebagai bagian dari ritual, pentas Jaran Kepang pun digelar di lapangan desa. Warga berbondong-bondong datang, tua muda, lelaki perempuan, tumpah ruah menyambut hiburan langka yang bisa ditemui dalam waktu lama.
Tarian Jaran Kepang dimainkan oleh para perempuan yang gagah dan anggun sekaligus. Mereka menjepit kuda-kudaan dari anyaman bambu di sela-sela kaki, bergerak menghentak seiring bunyi kenong dan terompet yang saling bersahutan.
Sebagian warga percaya kesenian ini adalah bentuk tolak bala, permohonan kepada bumi agar lahan pertanian subur, panen berhasil, dan desa tentram.
Sejarawan desa menyebut tarian ini memiliki banyak versi asal-usul. Ada yang mengaitkannya dengan pasukan berkuda Pangeran Diponegoro, ada pula yang mengatakan ini visualisasi permintaan Dewi Sanggalangit kepada Prabu Airlangga. Bahkan relief di Candi Jawi memperlihatkan sosok perempuan bertapa dan pasukan berkuda yang diyakini adalah Dewi Kilisuci, pengawal alam halus.
Menjelang senja, suasana makin riuh. Penari mulai meliuk, kudanya meringkik dalam lenggak-lenggok yang penuh irama. Tabuhan kian cepat, musik menggema ke langit. Dari arah masjid yang berjarak beberapa puluh meter, seorang pemuda bernama Aldi baru saja keluar setelah menunaikan salat Ashar dan mengikuti kajian.
Aldi bukan pemuda yang gandrung keramaian—jiwanya lebih akrab dengan sepi, dengan bisik angin yang mengalir pelan di antara nisan-nisan tua. Ia biasa menyepi, berkholwat di makam para wali, mendengarkan sunyi dan dzikir alam.
Namun sore itu, langkahnya seperti tak lagi miliknya sendiri. Ada Energi yang lebih tua dari dirinya, lebih purba dari logikanya—yang menyeretnya perlahan dari lorong sunyi menuju sebuah ketetapan yang belum dikenalnya.Bukan karena ingin, tapi karena harus.
Energi itu halus, namun dahsyat, yang menembus pori-pori raganya—mengalir dari langit, membisik di ubun-ubunnya. Energi itu seperti gelombang gaib yang menggiringnya masuk ke tengah kerumunan, menembus barisan manusia seakan dunia membelah untuknya. Tanpa sadar, ia telah berdiri hanya sejengkal dari para penari, begitu dekat hingga bisa merasakan desir angin dari kibasan selendang dan tatapan kosong yang memancarkan rahasia.
Di sana, di antara penari yang menunggang kuda-kudaan, matanya tertambat pada seorang gadis berkebaya hijau. Wajahnya bersih, matanya jernih dan gerak tubuhnya lentur penuh kharisma. Di pinggangnya melingkar selendang hijau muda yang berkilau diterpa senja. Mata Aldi dan sang gadis berkali-kali beradu pandang, menembus keramaian seolah hanya mereka berdua yang hadir.
“Apakah ini sumber energi yang menarikku itu?” bisik Aldi dalam hati.
Selama satu jam Aldi berdiri terpaku, matanya tak lepas dari penari berkebaya hijau itu. Ia tak hirau pada penari lain yang sedang kesurupan makan kembang hingga beling, atau suara sorak sorai yang semakin membahana. Sampai suara tarhim dari menara masjid menyadarkannya bahwa Maghrib akan tiba.
Wajah penari itu tak mau hilang dari ingatan Aldi. Saat air wudhu membasuh wajahnya, bayangan sang gadis justru makin nyata. Semalaman ia gelisah, mencoba tidur namun tak bisa.
Bayangan itu menari seperti cahaya di permukaan air yang tenang, menggugah hatinya yang selama ini membeku dalam hamparan salju dzikir dan tirakat. Ia datang bukan sekadar bayang, tapi gema dari langit yang mengetuk pintu rahasia dalam dadanya.
Hari-hari berikutnya Aldi terus mencari, namun langit seperti bungkam. Tak ada kabar angin tentang pertunjukan jaranan di desa mana pun. Desa-desa tetangga sunyi dari tabuhan kenong dan gemuruh kendang.
Harapan Aldi mengendap pelan-pelan, seperti embun yang tak sempat menjadi hujan. Ia menyesal, lupa menanyakan nama grup jaranan tempat gadis itu menari—dan kini, seolah jejaknya lenyap ditelan kabut takdir.
Pada suatu malam bulan purnama, selepas salat malam dan saat Aldi larut dalam dzikir khafi, Ia merasa tubuhnya melayang. Ia masuk ke dalam dimensi yang penuh cahaya, kuning keemasan lalu putih menyilaukan. Dalam cahaya itu muncullah sosok sang gadis, kini tampak seperti puteri kerajaan, berkebaya hijau zamrud, rambut hitam terurai, mahkota bertahta permata merah di dahinya. Di lengannya melingkar gelang emas berbentuk ular, kalung mutiara menghiasi lehernya. Ia menunggang kuda putih bersayap bercahaya.
“Ini… Kuda Sembrani?” Aldi bergumam.
Puteri itu tersenyum, melambaikan tangan mengajaknya mendekat. Aldi terpaku. Sebagai pengamal tarekat , ia tahu ini adalah ahwal—perjalanan ruhani ke dimensi lain. Namun ia merasa tak layak. Ia hanyalah rakyat biasa, bukan hartawan, bukan pula pangeran ataupun bangsawan.
Puteri itu mengangguk pelan, seolah tahu isi hati Aldi. Ia turun dari kuda, menghampiri Aldi, mengulurkan tangan. Aldi pun menyambutnya. Keduanya berjabat tangan, saling menatap dan saling tersenyum.
Lalu terdengarlah suara adzan:
“Ash-shalatu khairun minan naum…”
Aldi tersentak, menjawab pelan, “Sadaqta wa bararta wa ana minasy-syahidin…”
Ia tersadar. Adzan subuh telah di ujung. Bergegas ia berwudhu dan pergi ke masjid.
Seusai Subuhan, langkah Aldi terasa ringan. Angin pagi membelai seperti tangan ibunya yang dulu membangunkannya dengan ciuman kening, ketika ia masih kecil dan dunia hanya seluas pelataran rumah. Di matanya, cahaya matahari yang menembus dedaunan tampak seperti tanda-tanda yang menuntun.
Wajah para jamaah Subuh masih hangat membicarakan gelaran jaranan dua minggu ke depan, dalam rangka ritual jamasan Arca Joko Dolog. Gelaran itu akan dilakukan oleh tetangga desa di sebelah barat, yang dikenal masih memegang kuat tradisi dan ilmu warisan leluhur. Acara sakral ini hanya dilakukan setahun sekali, dan oleh banyak orang tua dianggap sebagai waktu “kembange jagat”—saat tabir dunia dan langit menjadi tipis, dan yang gaib menyapa yang nyata dalam diam yang suci.
Di sudut teras masjid, Aldi diam. Tak banyak bicara. Namun pikirannya sibuk menggali makna dari peristiwa yang ia alami belakangan ini. Bayangan gadis berkebaya hijau itu belum juga pudar dari pelupuk mata. Matanya, senyumnya, kuda anyamannya, bahkan debu yang menari di sekitarnya terasa seperti isyarat yang dikirim dari langit.
Ia teringat kembali pada mimpinya semalam, saat gadis itu hadir dalam dzikirnya. Menunggang kuda putih bersayap, mengajaknya naik, menatap dalam-dalam seolah berkata: “Apakah kau siap?”
Sayup sayup terdengar dari perbincangan para jamaah subuh itu bahwa grup kesenian jaranan yang akan dihadirkan namanya Cakra Buana. Grup yang dulu pernah didatangkan desanya saat selamatan.
Mendengar itu, senyum merekah di wajah Aldi—bukan sekadar lengkung bibir, tapi cahaya yang memancar dari seluruh penjuru kepalanya, seperti hujan cahaya yang menetes lembut menyirami taman hatinya yang telah lama layu. Ada sesuatu yang mekar diam-diam di dadanya. Barangkali inilah jawaban dari perjumpaan ruhani itu—yang dulu hadir dalam sunyi, dan kini menyentuh kembali dalam wujud nyata.
Sentuhan yang membuat dinding Latifah Sirr nya bergetar. Membentuk nada nada suara mirip guru tarekatnya. Suara itu seperti genta di dalam dada. Menggema. Menguatkan. Menerangi.
“Lahaula wala quwwata illa billah.”
Bahwa manusia hanya wayang. Segala kehendak milik Sang Dalang. Cinta, rindu, luka bahkan langkah kaki, semua telah ditulisNya.
Kenangan akan gadis berkebaya hijau itu bukan sekadar rasa. Itu adalah ajakan, isyarat dari langit. Aldi pun harus bersiap. Ia harus berpenampilan laiknya seorang pangeran. Bukan karena ia ingin memamerkan sesuatu, tapi karena ia ingin menjalani skenarioNya dengan sepenuh jiwa.
Jika pertemuan itu adalah cinta yang diilhamkan Tuhan, maka ia akan menerimanya dengan syukur penuh kebahagiaan.
Aldi pun mengikrarkan janji— bukan kepada langit yang luas,tapi ke dalam relung hatinya yang paling sunyi. Ia tak ingin mencinta sekadar untuk memiliki, melainkan untuk membaktikan.
Ia ingin mencintai dengan jiwa yang bening, seperti Rabi‘ah dan cintanya kepada Sang Kekasih Abadi, yang tak meminta surga, tak takut neraka, hanya ingin Allah dan rida-Nya.
Kasih sayangnya bukan sekadar rasa. Melainkan laku: Ia akan mencinta dengan sabar seluas samudra dan setia seperti para auliya yang tetap memeluk cinta meski diuji dalam rintang dan cobaan.
Ia teringat pada kisah Sayyidah Fatimah dan Ali, sepasang jiwa yang mencinta tanpa banyak kata, namun kekal dalam ketaatan dan kesetiaan. Cinta mereka tidak dibesarkan oleh dunia, tetapi oleh takdir dan doa.
Ia pun teringat kisah Ken Arok—pemuda desa biasa, tak punya darah biru, hanya seorang anak angkat dari pertapa bernama Lembong. Tapi nasib membawanya bertemu Ken Dedes, sang puteri bangsawan yang memancarkan cahaya suci dari balik kainnya. Sebuah cahaya yang dipercaya hanya akan tampak oleh lelaki yang ditakdirkan menjadi raja.
Ken Arok menikahi Ken Dedes, dan dari rahim mereka lahir garis keturunan raja-raja besar, termasuk Kertanegara,—yang kemudian diwujudkan dalam Arca Joko Dolog.
Arca batu besar itu bukan hanya peninggalan sejarah, tetapi menjadi lambang spiritual masyarakat. Warga meyakini, arca itu menyimpan doa-doa leluhur, dan dalam ritual jamasannya, akan turun berkah dan “titen” bagi siapa saja yang hatinya bening dan niatnya lurus.
Begitu pula, jika takdir berkata lain, jika cinta itu tak bisa ia peluk dalam kenyataan—seperti Pranacitra yang hanya bisa mengenang Rara Mendut dari balik tabir ajal, atau Jayaprana yang wafat dengan nama Layonsari dalam hatinya—Aldi pun tak akan gentar. Ia telah belajar bahwa tidak semua cinta harus dimiliki; sebagian cinta justru dititipkan agar tumbuh dalam doa dan duka yang suci.
Ia tetap akan mendoakan kebahagiaannya. Karena dalam cinta yang sejati, yang ada hanya keikhlasan—dan keyakinan, bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah, pasti indah pada waktunya
Aldi adalah seorang salik,pengembara dalam senyap yang menapak di lorong-lorong cahaya.Lelaku tarekat baginya bukan sekadar jalan,Tapi jalan pulang—menuju Sang Maha.
Sehingga luka bukanlah musibah, melainkan madah—nyanyian lirih yang merintis jalan menuju Tuhan. Derita bukan kehampaan, tapi bejana tempat rahasia Ilahi dituang perlahan. Karena dalam kehilangan yang ikhlas, tersembunyi kebahagiaan yang tak bisa diraba dunia, hanya bisa dirasa oleh jiwa yang telah menyerahkan segalanya kepada Sang Maha Pemilik Cinta
Aldi pun bertanya pada dirinya sendiri: “Mengapa aku merasa semua ini bukan kebetulan? Mengapa setiap peristiwa seperti digerakkan dari langit?”
Ia sadar, hidupnya bisa jadi bukan sekadar hidup biasa. Bukan karena ia istimewa, tapi karena mungkin ia sedang digerakkan untuk sesuatu yang lebih dalam. Mungkin bukan untuk menjadi raja seperti Ken Arok, tapi untuk menjadi manusia sejati—yang berani menghadapi takdir, apapun bentuknya.
Cinta itu bukan milik, Cinta adalah perjalanan. Dan setiap perjalanan butuh keberanian.
Mungkin gadis itu hanyalah penanda. Mungkin ia jodohnya. Mungkin pula hanya bayang yang dikirim untuk membangkitkan semangat suci dalam dirinya.
Apapun itu, Aldi kini tahu: Ia harus siap.
Ia pun kembali mendengar gema suara yang tak bersumber dari telinga,namun menggema dari kedalaman latifah sirr-nya—namun kali ini lebih hening dari angin,lebih terang dari cahaya, dan lebih dalam dari rindu
“Wahai anak suluk,menjadi murid sejati itu bukan perkara ringan. Harus berani hidup, dan berani pula menatap kematian tanpa gentar. Harus berani mencintai dengan segenap jiwa, namun juga siap kehilangan tanpa menuntut kembali.
Sebab semua ini adalah riyadhoh—latihan suci untuk menjadi makhluk yang tanpa pamrih, yang mencinta hanya karena-Nya, dan melepaskan juga karena-Nya.”
Dan suara itu pun mengendap seperti embun di relung batinnya.
Lalu Aldi tersadar—bukan dari mimpi,tapi dari kelalaian yang selama ini menyelimuti langkah-langkahnya.
Kini ia mengerti, perlahan tapi pasti: Perjalanan ini bukan sekadar kisah romansa manusia. Ini adalah riyadhoh, latihan jiwa yang sunyi namun terang. Sebuah madrasah rahasia, di mana sabar adalah guru, dan kehilangan adalah ujian yang membentuk keikhlasan sejati. Semua ini adalah persiapan,untuk satu pertemuan agung: menghadap Allah, dengan hati yang tak lagi menggenggam apa-apa, kecuali kerinduan yang tanpa syarat.
Dua minggu lagi, meski berjarak puluhan kilometer, ia akan melangkah ke gelaran jaranan itu—bukan sebagai penonton yang sekadar ingin tahu, tapi sebagai peziarah takdir, murid kehidupan yang siap menjemput apa pun yang telah digariskan langit.
Ia akan datang dengan balutan kain putih, lambang jiwa yang telah disucikan oleh doa dan harap. Langkahnya ringan, hatinya bening, dan di dalam dadanya terbit sepotong damai—damai dari seseorang yang telah belajar mencintai tanpa menggenggam, dan percaya bahwa takdir yang ditulis Tuhan tak pernah keliru arah.
Aldi pun tertunduk dalam kesadaran itu, bibirnya pelan mengucap dzikir yang senantiasa mengiringi perjalanannya:
“Ilahi Anta maqsudi, wa ridhoka matlubi…”
Tuhanku, Engkaulah tujuan segala langkahku, dan Ridho-Mu adalah puncak rinduku.
Cinta dunia boleh menyapa, menggetarkan jiwa dan mengguncang sukma,
Namun cintaku, pada akhirnya, akan selalu pulang—kepada-Mu, yang abadi.
Ia pun melangkah pulang dari masjid—bukan dengan tergesa, tapi dengan langkah yang hening, seolah setiap tapaknya adalah sujud yang ditanamkan ke bumi.
Kini cintanya bukan lagi doa yang memohon-mohon, melainkan cahaya yang diam-diam memberi, tanpa nafsu ingin menguasai.
Sebab Aldi telah memahami, bahwa perjumpaan dengan gadis berkebaya hijau itu bukan semata-mata pertemuan dua raga, melainkan pertautan jiwa—sebuah isyarat agung yang menggiringnya semakin dekat kepada Sang Maha Cinta.
Dan di sanalah, di dalam sunyi yang penuh makna itu, senyuman si kebaya hijau tak lagi sekadar enigma yang menghantui,
Tetapi menjelma menjadi jalan terang—jalan ruhani yang membawanya melintasi kabut dunia menuju maqam hakikat yang lebih dalam, lebih sunyi, dan lebih bercahaya.