Pecahnya Bisul Kemarahan Rakyat

Spread the love

Oleh: Faisol Ramdhoni*

salsabilafm.com – Sejarah bangsa ini adalah sejarah jalan raya. Ketika ruang-ruang demokrasi dikebiri, ketika parlemen menjadi ruang sunyi bagi rakyat, jalan-jalan kota menjadi mimbar yang paling jujur. Sejak awal 2025, suhu politik dan sosial di Indonesia sudah mulai mendidih. Gelombang aksi terus membesar, dari kampus, pabrik, hingga pangkalan ojek online. Dan puncaknya, di akhir Agustus, bisul kemarahan itu pecah dengan darah, api, dan suara rakyat yang tak lagi bisa dibungkam.

Februari: Amarah Pertama Mahasiswa

Februari menjadi tanda awal. Mahasiswa kembali ke jalan, menolak revisi UU TNI. Revisi yang hendak memberi ruang luas bagi militer masuk ke ranah sipil ini jelas mengancam demokrasi. Rakyat tahu, luka masa lalu belum sembuh. Reformasi 1998 lahir salah satunya dari tekad menghapus dwifungsi ABRI, agar tentara kembali ke barak dan sipil memegang kendali demokrasi. Namun, DPR dan pemerintah tampak nekad membuka pintu itu kembali.
Dengan mengusung Indonesia Gelap, gelombang aksi mahasiswa ini serentak terjadi di peblagai kota-kota besar di Indonesia. Sejumlah mahasiswa dari kampus-kampus ternama pun turut berada di garda terdepan.
Pertanyaannya sederhana: apakah bangsa ini rela berjalan mundur? Apakah kita ingin mengulang bab gelap di mana suara rakyat ditindas atas nama stabilitas? Mahasiswa menjawab dengan tegas: tidak. Tapi para legislator di Senayan seolah tuli. Mereka lebih sibuk rapat soal frasa pasal daripada mendengar teriakan rakyat di luar gedung.

Maret–April: Buruh Bergerak

Maret dan April, giliran buruh turun ke jalan. Mereka bicara tentang upah minimum yang tak naik signifikan, pesangon yang makin dikurangi, hingga kontrak kerja yang makin tak manusiawi. Ironisnya, di saat yang sama, DPR mengesahkan kenaikan tunjangan dan fasilitas mereka sendiri.
Beginilah wajah republik hari ini: rakyat disuruh hemat, DPR berpesta pora. Rakyat antre beras murah, DPR antre mobil dinas baru. Rakyat dicekik pajak, DPR dicekoki fasilitas. Jika ini bukan bentuk penghinaan terang-terangan, apa namanya?
Gelombang buruh itu mengingatkan kita pada sejarah lama: ketika buruh menjadi motor perlawanan politik, dari 1920-an hingga 1998. Bedanya kini, buruh tak hanya melawan pengusaha rakus, tapi juga negara yang melindungi kerakusan itu.

Mei–Juni: Jeritan Ojol

Mei dan Juni menyajikan wajah lain dari penderitaan rakyat: para pengemudi ojek online. Mereka menuntut hal sederhana: Tunjangan Hari Raya dan perlindungan kerja. Sesuatu yang wajar bagi pekerja yang siang malam menjadi urat nadi transportasi dan logistik kota. Tapi negara pura-pura tuli, dan perusahaan aplikasi bersembunyi di balik kata “algoritma”.
Padahal, tanpa ojol, denyut kota bisa lumpuh. Mereka mengantar makanan, mengantar penumpang, mengantar paket, bahkan mengantar harapan keluarga untuk tetap hidup sehari-hari. Tetapi ketika bicara hak, mereka justru didorong ke jurang ketidakpastian. Bagaimana bisa negara sebesar ini membiarkan pekerja kunci terpuruk, sementara segelintir elite menikmati surplus keuntungan dari jerih payah mereka?

Juli: Ledakan Pajak dan Gelombang Bersatu

Juli adalah bulan ketika amarah rakyat makin sulit dibendung. Tak hanya mahasiswa, buruh, dan ojol, rakyat kecil di daerah pun ikut melawan. Di Pati, Jawa Tengah, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250 persen membuat rakyat mengamuk. Mereka mengepung kantor pemerintahan, memaksa kebijakan dicabut, bahkan membuat bupati gentar.
Peristiwa Pati itu menjadi alarm: rakyat bisa marah, dan ketika marah, kekuasaan bisa terguncang. Tapi apakah pemerintah pusat belajar? Tidak. Mereka terus melaju, seakan yakin rakyat akan pasrah.
Sementara itu, di kota-kota besar, aksi makin meluas. Mahasiswa, buruh, ojol, bahkan petani dan pedagang kecil mulai berbaris bersama. Isu mereka bercampur: revisi UU TNI, tunjangan DPR, THR ojol, kenaikan pajak. Semua teranyam dalam satu benang merah: rakyat diperas, elite berpesta.

Agustus: Bisul Pecah

Dan tibalah Agustus. Bulan yang seharusnya menjadi pesta kemerdekaan, justru berubah jadi bulan duka rakyat. Pada 28 Agustus 2025, ribuan ojol bersama mahasiswa memenuhi jalan-jalan Jakarta. Bukan lagi satu-dua tuntutan yang mereka bawa, melainkan seruan menyeluruh: stop revisi UU TNI, hapus tunjangan DPR, berikan THR dan upah layak, hentikan pajak mencekik.
Hari itu, negara menunjukkan wajah aslinya. Bukan sebagai pelindung rakyat, tapi sebagai pengawal kepentingan elite. Aparat dengan tameng, gas air mata, dan kendaraan taktis mengepung rakyat. Dan di tengah kericuhan, seorang anak muda bernama Affan Kurniawan, 21 tahun, tewas digilas kendaraan Brimob.
Affan bukan politisi, bukan elite, hanya driver ojol yang hidup dari keringat harian. Namun kematiannya menjadi simbol betapa murah nyawa rakyat di mata penguasa. Seperti Munir di awal 2000-an, seperti korban Semanggi 1998, nama Affan kini jadi saksi bahwa republik ini masih saja menelan anak-anaknya sendiri.
Kematian Affan memecahkan bisul yang sudah lama membengkak. Jakarta terbakar. Ban menyala, barikade aparat diterobos, kaca-kaca gedung pecah. Aksi menyebar ke Bandung, Surabaya, Medan, hingga Makassar. Jalan raya menjadi mimbar rakyat, dan vonisnya jelas: pemerintah gagal, DPR gagal, aparat gagal.
Bahkan hingga tulisan ini diketik, aksi-aksi itu tak berhenti bahkan meluas merambah ke kota-kota kecil.
Kemarahan yang Sejati
Inilah wajah kemarahan yang sejati. Setiap ban terbakar adalah lambang perut rakyat yang lapar. Setiap kaca gedung pecah adalah lambang hancurnya kepercayaan. Setiap batu yang dilempar adalah surat protes terhadap elite politik yang lebih sibuk menghitung tunjangan daripada mendengar jeritan rakyat.
DPR kini lebih pantas disebut “Dewan Pembagi Rezeki” untuk diri mereka sendiri. Pemerintah lebih sibuk menjaga kursi kekuasaan daripada menjaga perut rakyat. Aparat lebih setia pada perintah elit daripada pada sumpah melindungi rakyat. Demokrasi yang katanya sudah mapan ternyata hanyalah topeng rapuh.

Permintaan maaf tak akan menghidupkan Affan. Investigasi tak akan menghapus lapar. Janji reformasi hanyalah kata-kata basi yang sudah lama diperdagangkan. Rakyat tahu itu. Bisul kemarahan sudah pecah, dan nanahnya mengalir di jalan-jalan kota.
Cermin dari Sejarah
Apa yang terjadi pada 2025 ini bukan hal baru. Tahun 1998, mahasiswa dan rakyat mengusir Soeharto karena harga sembako melambung dan korupsi merajalela. Tahun 2019, mahasiswa menolak revisi UU KPK dan sejumlah undang-undang yang dianggap mengkhianati demokrasi. Tahun 2020, rakyat marah pada UU Cipta Kerja.
Polanya sama: ketika penguasa buta, rakyat yang membuka mata. Ketika penguasa tuli, rakyat yang bersuara. Ketika penguasa rakus, rakyat yang melawan. Jalan raya adalah kitab suci demokrasi yang tak bisa disensor.

Pertanyaan untuk Republik

Kini, republik ini dihadapkan pada pilihan pahit: apakah penguasa mau mendengar suara rakyat, atau terus menutup telinga? Apakah DPR mau menghapus tunjangan mereka, atau tetap menari di atas penderitaan rakyat? Apakah pemerintah mau menghentikan revisi UU TNI, atau biarkan tentara kembali menguasai ruang sipil? Apakah perusahaan aplikasi mau memberi THR bagi ojol, atau terus menyembah algoritma sambil membuang manusia ke pinggir jalan?
Rakyat sudah bicara dengan jelas. Mereka tak lagi percaya janji, tak lagi sabar dengan retorika. Mereka sudah kehilangan rasa takut, karena lapar lebih menakutkan daripada gas air mata, dan kehilangan pekerjaan lebih menyakitkan daripada pukulan pentungan.

Penutup: Api sebagai Mikrofon

Bisul kemarahan rakyat sudah pecah. Pertanyaannya sekarang, apakah negara akan merawat luka ini, atau membiarkannya membusuk? Jika negara memilih abai, jangan salahkan rakyat jika mereka menjadikan api sebagai mikrofon, jalan raya sebagai podium, dan batu sebagai bahasa.
Karena ketika demokrasi diperdagangkan di Senayan, rakyat akan selalu menemukan cara untuk merebutnya kembali. Dan sejarah mengajarkan satu hal: tidak ada kekuasaan yang bisa bertahan jika rakyat sudah sepakat untuk marah.Wallahu ‘alam Bis Showab

*Penulis adalah Sekretaris PC. IKAPMII Sampang


Spread the love

Related Articles

Latest Articles