Oleh : Faisol Ramshoni*
Aduh, paman!
kudaki punuk pundak sapimu
dengan secawan nira di tan**gan
untuk mengisi ruas nyawaku
wahai, bulan betah mengasuh kemarau.
Dari ekor bintang yang semalam gemetar
bisa diduga, siapa yang harus dilecut
agar bangkit kejantanan
umbul-umbul berlukis wayang
sudah tegak di sudut ladang
—K.H. Zawawi Imron, Nyanyian Tanah Garam
Puisi itu mengalun lirih dari radio tua di sudut dapur. Radio berdebu itu bersuara serak, tapi bagi Pak Ahmad, setiap bait puisi yang mengalir darinya lebih terang daripada berita manapun. Di tengah musim yang tidak lagi bisa ditebak, ia temukan kejelasan justru dalam kata-kata lama. Kata-kata yang mencium tanah garam seperti kening mencium sajadah.
Langit di luar masih kelabu. Angin pagi membawa bau asin yang ganjil—bukan dari tambak, tapi dari air mata langit yang tak kunjung selesai menitik.
“wahai, bulan betah mengasuh kemarau…”
Pak Ahmad menyesap kopi pahit tanpa gula, sambil menimbang berat kata-kata yang baru saja ia dengar.
Dulu, kemarau adalah teman. Ia datang membawa matahari yang setia menyinari tambak, membuat air asin menguap perlahan, meninggalkan kristal-kristal putih seperti doa yang menjelma. Tapi kini, kemarau sudah seperti anak durhaka—tak menepati janji, tak datang tepat waktu. Musim hujan menyaru, datang dua kali, mengguyur tambak, mengubur garam yang belum sempat menjadi.
Orang-orang kampung di Madura menyebutnya “Nambhere’ kembher,” Musim penghujan kembar yang datang dua kali dalam satu tahun. Hujan turun di bulan-bulan seharusnya panas. Tambak-tambak garam tergenang, air asin bercampur air langit. Musim panen seperti sedang ditunda Tuhan.
Di tengah kebimbangan langit dan bumi itu, datang Maulana, anak semata wayang, dengan tas sekolahnya yang mulai kebesaran, dengan mata yang masih bening karena belum mengenal getir. Musim seakan enggan mengering. Waktu seakan menunda harapan.
“Pak, boleh Maulana minta sepeda listrik? Yang kayak punya teman-teman. Biar nanti pas sekolah SMP, Maulana nggak usah diantar.”
Pak Ahmad menoleh. Di ambang pintu, anaknya berdiri dengan tubuh kurus dan mata yang terang. Maulana, 13 tahun. Laki-laki kecil yang tubuhnya tumbuh dari asin garam dan kerasnya pematang.
Pak Ahmad tidak langsung menjawab. Ia menatap jauh ke arah jendela, seolah mencari jawaban di sela-sela gerimis yang menggantung di pucuk atap. Ia tersenyum, dengan senyum lelaki yang tak ingin anaknya tahu bahwa garam kini tak lagi mau mengeras. Lalu, dengan suara serak yang nyaris seperti desah angin, ia berkata:
“Kalau panennya banyak nanti, InsyaAllah, Bapak usahakan.”
Bukan janji. Kalimat itu lebih mirip seutas benang doa, dijalin dari pasrah dan cinta, lalu ditiupkan ke langit yang mendung—langit yang entah bersedia mendengar, entah hanya diam dalam keagungannya.
Tapi bukankah setiap ayah selalu ingin menjadi langit bagi anaknya? Meneduhkan meski panas, menenangkan meski hampa, dan diam-diam mengamini semua keinginan kecil yang belum sanggup dikabulkan.
Maulana seperti biasanya, setiap sore, selepas sekolah, ikut ayahnya ke tambak. Bukan untuk mengeluh, tapi membantu dengan tangannya sendiri. Ia sudah hafal bagaimana air laut harus ditakar, kapan tanah bisa dijemur, dan bagaimana menata garam agar mengering sempurna. Tapi kini, tambak mereka lebih mirip genangan luka yang tak kunjung sembuh.
“Pak, kapan kita bisa mulai panen?”
Pak Ahmad memandangi langit. “Kalau langitnya setia, tambak ini akan memberi. Tapi kalau langit sedang patah hati, semua rencana akan hanyut.”
Maulana terdiam. Tapi sorot matanya tak padam. Ia tetap menyusun bambu pembatas tambak, meski tahu esok belum tentu kering. Di tangannya, tampak tabah yang tak dimiliki anak-anak lain seusianya.
Di masjid kecil kampung itu, Pak Ahmad biasa menjadi marbot tak bergaji. Membersihkan lantai, mengganti sajadah, dan kadang mengadzankan bila muadzin terlambat.
Sore itu, selepas ashar, ia duduk bersila lama di serambi masjid. Hatinya gelisah. Doa-doanya seperti menabrak langit yang terlalu penuh untuk mendengar.
Datanglah Kiai Muzakki. Seorang tua yang bajunya selalu basah oleh wudhu, dan langkahnya seperti tak pernah meninggalkan tanah.
“Kau tampak galau, Ahmad,” katanya tenang.
“Saya bingung, Kiai. Anak saya minta sepeda. Tapi tambak tenggelam. Garam tak bisa jadi. Saya takut tak bisa memenuhi harapannya.”
Pak Ahmad menghela napas. “Maulana minta sepeda listrik, Kiai. Tapi tambak tak bisa menghasilkan. Musim tak sesuai. Saya tak tahu harus berkata apa.”
Kyai Muzakki diam cukup lama sebelum menjawab. Angin langgar berembus pelan. Suara daun pisang bergesek di luar, seperti mengiringi zikir alam.
Lalu, dengan mata yang tak menatap tapi menusuk ke dalam, Kyai Muzakki berkata pelan namun dalam:
“Ahmad, ketika seorang ayah mendengar permintaan anaknya dan merasa tidak sanggup memenuhinya, itu bukan semata kekurangan. Itu adalah madrasah. Allah sedang mengajarkan dua hal kepadamu: bahwa rezeki tidak selalu datang dari tambak, dan bahwa cinta tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk barang.”
“hidup ini bukan tentang bisa atau tidak bisa, tapi tentang bagaimana engkau berserah. Ingatlah firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 286: ‘Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha…’ — Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Maka jangan kau gugat dirimu atas sesuatu yang belum mampu kau tunaikan.”
Pak Ahmad menunduk. Ada genangan bening di sudut matanya. Hatinya merunduk seperti petani yang gagal panen, tapi Kyai Muzakki belum selesai. “Dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hud ayat 6, Allah berfirman, Wa maa min daabbatin fil-ardhi illa ‘alallahi rizquhaa—Tidak ada satu makhluk pun di bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya. Tapi rezeki itu tak selalu berbentuk benda, Ahmad. Kadang ia hadir dalam bentuk sabar, atau dalam bentuk anak saleh yang memahami sebelum diminta untuk mengerti.”
Pak Ahmad menarik napas dalam. “Tapi, Kyai, bagaimana saya menjelaskan semua ini kepada Maulana? Ia masih anak-anak. Ia belum mengerti bahasa takdir.”
Kyai Muzakki tersenyum. Lirih, lembut, seperti senyum langit sebelum fajar.
“Ajarkan ia dengan kejujuran. Dengan cinta. Katakan bahwa hidup bukan selalu tentang memiliki, tapi tentang menjadi kuat, menjadi ikhlas, menjadi yang sabar. Ingat sabda Nabi SAW: Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan sejati adalah kaya hati.”
Pak Ahmad mengangguk pelan.
“Lalu,” lanjutnya lirih, “kalau saya tidak bisa memenuhi keinginannya, apakah itu berarti saya gagal sebagai bapak?”
Kyai Muzakki menatapnya lembut, lalu berkata : “Ahmad, bukan sepeda yang kau pikirkan, tapi marwahmu sebagai ayah yang terganggu. Kau takut anakmu kecewa, bukan karena ia minta banyak, tapi karena kau merasa memberi terlalu sedikit.”
Pak Ahmad menunduk. Air matanya hampir tumpah ke lantai.
Kyai Muzakki melanjutkan, dengan kalimat yang seperti dikirim dari langit:
“Jangan takut menjadi ayah yang gagal memberi, Ahmad. Takutlah menjadi ayah yang tak mengajari anak memahami makna menerima.”
Pak Ahmad masih terdiam, merenungi kata-kata itu. Tapi Kyai Muzakki melanjutkan, kini lebih puitis, lebih mengalir seperti tasbih yang tak putus.
“Anak yang tumbuh di atas tanah tambak—yang keras, asin, dan tak selalu panen—akan belajar bagaimana bertahan. Ia akan tahu bahwa untuk mendapatkan garam, air laut harus diuapkan. Bahwa untuk mendapatkan cahaya, malam harus ditapaki. Anak seperti itu akan tumbuh bukan hanya dengan tubuh, tapi dengan ruh.”
Pak Ahmad menarik napas berat.
“Anakmu sedang belajar berharap,” Kiai melanjutkan, “dan engkau sedang diuji dalam sabar dan ridha. Dua-duanya adalah maqam yang suci dalam perjalanan ruhani. Orang yang sabar, kata Imam Al-Ghazali, adalah orang yang mampu menahan jiwa dari keluh kesah dan lidah dari protes kepada takdir.”
Pak Ahmad terdiam lama. Matanya sembab, tapi suaranya tetap pelan dan dalam, “Lalu bagaimana dengan sepeda itu, Kiai?”
Kiai Muzakki menatap langit yang masih menggantung kelabu, lalu berkata:
“Sepeda hanyalah sarana dunia. Tapi sabar yang kau tanam hari ini bisa menjadi kendaraan ruhani yang akan membawamu dan anakmu ke maqam yang lebih tinggi. Ibn Athaillah berkata dalam Al-Hikam, ‘Barang siapa tidak bersyukur atas ujian, maka ia kehilangan satu derajat ruhani. Dan barang siapa bersabar, maka ia berada di tengah-tengah. Tapi barang siapa ridha, maka ia telah sampai.’”
Pak Ahmad mengangkat wajahnya. Hatinya seperti tambak yang mulai surut—bersiap menerima cahaya. Dalam hatinya, mulai tumbuh pengertian yang tak diajarkan sekolah: bahwa garam sejati tidak selalu berasal dari laut. Kadang dari air mata yang tak terlihat.
Dalam beberapa bulan terakhir, di desa itu dan desa-desa sekitarnya, sepeda listrik menjadi pemandangan baru. Anak-anak sekolah dasar dan menengah mulai menggunakan sepeda listrik untuk berangkat sekolah. Sebuah pertanda zaman yang bergeser pelan namun pasti. Motor bensin mulai kalah senyap, kalah praktis. Meski belum semua bisa memiliki, namun yang memilikinya menjadi semacam simbol kepraktisan baru dan kadang… status sosial.
Pak Ahmad memperhatikan fenomena itu dengan hati berdesir. Ia tahu Maulana pun pasti melihat hal yang sama. Dan permintaan Maulana bukan semata ikut-ikutan, tapi juga bagian dari kegelisahan yang tak terucap—tak ingin tertinggal, tak ingin merasa kurang.
Beberapa hari kemudian, dengan hati yang masih penuh harap dan doa, Pak Ahmad menjual sisa garam dari panen tahun lalu. Harganya memang naik sedikit, namun tetap jauh dari cukup untuk membeli sepeda listrik yang diidamkan Maulana.
Dengan uang seadanya, Pak Ahmad membeli sebuah sepeda bekas — berkarat, dengan ban yang kempes dan sadel yang robek. Sepeda itu bukan sekadar benda lusuh, melainkan cermin perjuangan yang penuh cerita.
Ia bersihkan sepeda itu dengan sabar, mengecat ulang rangka yang mulai pudar warnanya, dan memasang lampu kecil hasil bongkaran radio tua yang sudah tak berfungsi. Setiap detilnya ia rawat dengan cinta yang tulus, seperti merawat harapan yang tak mudah padam.
Lalu, sepeda itu dibawanya pulang ke rumah, disambut dengan pelukan sunyi yang penuh arti.
“Maulana… ini yang bisa Bapak belikan. Maaf ya, belum sepeda listrik,” ucap Pak Ahmad dengan suara serak.
Maulana memeluk ayahnya erat, lama sekali, seolah ingin meneguhkan bahwa cinta itu tak mesti dibayar dengan kemewahan.
“Bapak tahu?” bisik Maulana lirih, “Sepeda ini… justru seperti Bapak. Mungkin tak mewah, tapi penuh cinta. Maulana suka.”
Air mata Pak Ahmad jatuh perlahan, jatuh di atas garam yang belum sempat menjadi kristal sempurna. Namun, di sanalah ia menemukan makna rezeki yang sesungguhnya: bukan dari harta atau kemewahan, tapi dari pengertian anak yang mengerti makna kasih yang lebih dalam daripada dunia.
Pak Ahmad menatap sepeda bekas itu, kini bukan hanya sebagai alat pengantar ke sekolah, tapi sebagai lambang sabar, ikhlas, dan cinta yang tak tergantikan. Dalam hati, ia bersyukur. Karena terkadang, rezeki terbesar adalah ketika hati dan jiwa menemukan kedamaian, meski di tengah keterbatasan.
Dan di bawah langit Madura yang masih berselimut kabut, suara doa dan harapan mengalun lembut, seperti nyanyian tanah garam yang tak pernah usai.
*Penulis adalah Aktivis NU Sampang, Kolumnis di Pelbagai Media Massa