Oleh : Faisol Ramdhoni*
Beberapa tahun terakhir, negeri ini dihebohkan dengan kemunculan makam-makam yang ternyata palsu. Tidak ada jenazah di dalamnya, tidak ada catatan sejarah yang mendukung, hanya keyakinan yang lahir dari sebuah mimpi atau firasat seseorang. Di Cianjur, Jawa Barat, misalnya, delapan makam keramat tiba-tiba berdiri di samping satu makam leluhur asli. Semuanya hanya karena seseorang merasa mendapat ilham dalam tidurnya. Orang-orang percaya, lalu berziarah. Hingga keresahan muncul, masyarakat bersama aparat desa akhirnya membongkar seluruh makam palsu itu. Tinggal satu yang tetap berdiri: makam yang benar-benar memiliki akar sejarah.
Kisah serupa berulang di Mojokerto, tepatnya di kawasan Situs Kumitir. Belasan makam didirikan oleh seorang pendatang yang mengaku mendapat bisikan mimpi dan petunjuk dari kiai tanpa jelas asal-usulnya. Setelah ditelusuri, masyarakat hanya mengakui dua makam, sementara sisanya dianggap menyesatkan lalu dibongkar. Ngawi pun tidak ketinggalan. Lima makam di tepi sungai didirikan karena seseorang mengaku bermimpi. Nama-nama besar ulama dipasang di atas nisan, padahal tidak ada bukti sejarah maupun jenazah. Lagi-lagi, masyarakat bersepakat membongkar makam itu bersama perangkat desa dan aparat.
Fenomena yang sama juga terjadi di Ponorogo. Sebuah makam mendadak muncul di kompleks pemakaman Kiai Ageng Nur Salim, tokoh penyebar Islam. Mula-mula lahir dari mimpi berulang seorang warga, seolah pusara tersembunyi menampakkan diri lewat tidur. Namun, setelah ditelusuri, tidak ada bukti kuat, dan makam itu pun ikut hilang bersama keyakinan yang membangunnya.
Terbaru dan terdekat, di Kota Kelahiran Sampang, muncul sebuah makam baru yang panjangnya tiga meter. Makam itu didirikan oleh seseorang yang mengaku telah bertirakat puasa selama 41 hari, lalu mendapat petunjuk dalam mimpi. Keberadaannya segera mengundang perhatian luas, hingga aparat pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat bersepakat untuk membongkarnya. Makam itu kembali menjadi tanah kosong, meninggalkan pesan betapa rapuhnya sebuah keyakinan jika hanya bersandar pada mimpi.
Lebih besar lagi, kasus di Kabupaten Serang, Banten, memperlihatkan betapa jauh praktik ini bisa berkembang. Sebanyak 31 makam keramat palsu berdiri di sebuah TPU. Semula diklaim dari mimpi, belakangan dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran sesat dan praktik pesugihan. Warga gelisah, lalu beramai-ramai membongkarnya.
Rangkaian peristiwa itu memperlihatkan betapa mimpi sering kali diberi posisi berlebihan. Seolah-olah bisikan dari tidur lebih kuat daripada penelitian sejarah, akal sehat, dan kesepakatan sosial. Padahal mimpi adalah ruang yang rawan, penuh dengan simbol dan tafsir. Bisa datang dari Tuhan, bisa pula hanya dari permainan pikiran. Ketika mimpi dijadikan dasar untuk mendirikan makam, maka lahirlah kebohongan yang menjelma keyakinan kolektif.
Makam pada dasarnya adalah buku sejarah. Ia merekam siapa yang pernah hidup, apa jasa dan perannya, serta bagaimana masyarakat mengenangnya. Tetapi ketika makam dipalsukan, sejarah pun ikut dipalsukan. Nama ulama dan tokoh besar bisa ditempelkan begitu saja pada batu nisan, meski tanpa bukti, hanya demi menghadirkan daya tarik. Banyak kasus memperlihatkan bahwa motivasi utama bukanlah spiritual, melainkan ekonomi. Makam keramat akan didatangi peziarah. Pedagang bunga, penjual dupa, tukang parkir, dan warung makan ikut ramai. Ekonomi berputar, tapi kebenaran dikorbankan.
Tradisi ziarah sendiri sebenarnya adalah warisan yang mulia. Ia menjadi ruang bagi manusia untuk merendahkan diri, mengingat kematian, dan memperbarui hubungan batin dengan leluhur. Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain menegaskan bahwa ziarah kubur disunnahkan. Barang siapa berziarah ke makam orang tuanya di hari Jumat, dosa-dosanya diampuni dan ia dicatat sebagai anak yang berbakti. Bahkan beliau menyebut, berziarah setiap Jumat pahalanya seperti ibadah haji. Inilah kedalaman spiritual yang sesungguhnya. Ziarah bukan sekadar berjalan ke kuburan, melainkan perjalanan batin untuk mengingat bahwa hidup adalah sementara.
Kontras dengan itu, makam palsu justru melahirkan kesesatan. Orang berdoa dengan penuh keyakinan di pusara yang kosong. Tangis dan doa tumpah, padahal yang didoakan bukan siapa-siapa. Doa mungkin tetap didengar Tuhan, karena rahmat-Nya tak terbatas, tetapi betapa menyedihkan ketika keyakinan diarahkan pada sesuatu yang keliru. Ziarah yang sejatinya mengingatkan kepada Allah malah bergeser menjadi ritual mencari jalan pintas lewat mitos.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada 2022, otoritas Israel dilaporkan sengaja membangun ratusan makam palsu di sekitar Masjid Al-Aqsa. Menurut Ahmad Abu Halibiyeh dari Komite Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa, sekitar 300 makam palsu berdiri di Jabal Al-Zaytoun dan 200 lainnya di Wadi Al Hilwa. Tujuannya jelas: membangun klaim sejarah palsu demi propaganda politik. Dengan adanya makam Yahudi di sekitar Al-Aqsa, mereka hendak menegaskan bahwa wilayah itu sejak lama milik mereka. Maka makam palsu di sini bukan sekadar soal spiritual, tetapi juga senjata ideologi.
Jika ditarik lebih jauh, praktik membuat makam palsu sudah ada sejak zaman Mesir Kuno. Bedanya, saat itu makam palsu dibangun bukan untuk menipu masyarakat, melainkan untuk mengecoh perampok makam. Para Firaun menyembunyikan harta karun mereka agar tidak dijarah. Pada masa itu, kebohongan lahir dari rasa takut kehilangan. Sedangkan kini, kebohongan lahir dari keserakahan untuk mendapatkan keuntungan.
Keberadaan makam palsu membawa pesan penting. Bahwa kebenaran tidak boleh dititipkan pada satu orang atau satu mimpi, melainkan harus dijaga bersama oleh masyarakat, tokoh agama, dan aparat. Berulang kali terbukti, ketika kesadaran kolektif bekerja, makam-makam palsu itu akhirnya dibongkar. Kekuatan kebersamaan menjadi benteng terakhir melawan kepalsuan.
Namun ada pertanyaan yang lebih dalam: bukankah manusia sering kali juga membangun makam palsu di dalam dirinya sendiri? Tidak selalu berupa nisan dan pusara, tetapi berupa keyakinan kosong yang dipelihara dengan penuh kesungguhan. Keyakinan bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan harta melimpah, padahal banyak orang kaya yang hidupnya gersang. Keyakinan bahwa kehormatan datang dari pangkat dan jabatan, padahal berapa banyak pejabat yang akhirnya mati dalam sepi. Semua itu adalah makam palsu di dalam pikiran—kosong, tapi dipuja. Tidak berbeda jauh dari orang-orang yang berdoa di atas tanah tanpa jenazah.
Kematian sejatinya adalah guru yang jujur. Kuburan adalah kitab yang tak pernah salah. Di sana terlihat dengan jelas, semua manusia pada akhirnya sama. Tidak ada bedanya presiden dan petani, ulama dan pedagang. Semua kembali ke tanah. Karena itu, tradisi ziarah perlu terus dirawat. Ia bukan ruang untuk menumbuhkan mitos, melainkan cermin yang jernih bagi kehidupan.
Makam palsu mengajarkan satu hal: betapa mudahnya manusia terjebak dalam kepalsuan jika lupa pada inti kebenaran. Ketika nalar dikalahkan oleh mimpi, sejarah akan kabur, dan spiritualitas berubah menjadi dagangan. Tetapi ketika masyarakat sadar, makam-makam itu bisa dibongkar, dan kehidupan pun kembali lurus.
Dan pada akhirnya, ziarah sejati adalah perjalanan ke dalam diri: menyadari kefanaan, membongkar makam-makam palsu dalam batin, lalu kembali kepada Allah dengan hati yang jernih.
*Penulis adalah Penggiat Komunitas Sarjana Kuburan