Oleh: Faisol Ramdhoni
Dalam kesunyian Arafah, manusia diajarkan satu hal penting: bahwa menjadi baik bukan soal terlihat paling benar, tapi seberapa dalam hati kita sanggup merendah.
Menjadi orang baik itu pekerjaan sunyi. Tak banyak sorak-sorai, apalagi tepuk tangan. Kadang malah kau dicurigai, dikira cari muka, atau sedang main peran. Padahal sejatinya, menjadi baik itu seperti mata air di pegunungan: jernih, tenang, dan tak butuh pengakuan. Ia mengalir karena kodratnya memberi. Orang baik tidak sibuk menilai siapa yang pantas ditolong. Ia menolong karena itu bagian dari napasnya. Ia tahu bahwa kebaikan sejati bukan tentang menjadi yang paling benar, tapi menjadi yang paling bisa memahami.
Wukuf di Arafah adalah kuliah besar tentang manusia dan Tuhannya. Di sanalah segala gelar ditanggalkan, segala atribut dunia dikosongkan. Tak ada pangkat, tak ada kasta. Hanya tubuh yang berdiri di bawah langit, dan hati yang telanjang di hadapan kasih sayang Tuhan. Wukuf bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah momen puncak keheningan batin: saat manusia akhirnya berhenti dari segala pelarian, dan memilih berdamai dengan dirinya sendiri. Di situlah kejujuran diuji, karena tak ada yang bisa kau sembunyikan saat berdiri di hadapan Yang Maha Tahu.
Ada yang sering bilang, “Laki-laki itu biasanya baik dan taat ketika hidupnya sedang susah. Tapi ketika hidupnya senang dan beruang, mereka lupa daratan dan banyak gaya.” Ungkapan ini terdengar benar karena sering terjadi, tapi tidak adil dan tidak utuh. Tidak semua laki-laki seperti itu, dan tidak semua manusia berubah karena keadaan. Justru banyak sekali orang yang ketika diuji dengan kelapangan, memilih tetap rendah hati. Ketika diberi kekuasaan, ia tidak sombong. Ketika diberi harta, ia tetap tawadhu. Karena yang menentukan bukan situasi hidupnya, tapi kualitas jiwanya. Jangan kita terburu-buru menilai manusia hanya dari fase hidup yang sedang ia lewati. Kadang yang terlihat banyak gaya justru sedang menutupi luka. Yang tampak lupa daratan sebenarnya sedang kehilangan arah, bukan kehilangan iman.
Justru di sinilah Arafah mengajarkan kita sesuatu yang lebih tinggi dari prasangka. Di sana, orang yang kaya dan miskin sama-sama berdiri. Sama-sama mengenakan kain putih, sama-sama berdoa dengan tangan telanjang.
Tuhan seolah ingin berkata: “Nak, lihatlah. Di hadapan-Ku, semua kalian sama. Jangan ukur kesalehan dari dompetnya, jangan curiga pada yang sedang senang, dan jangan menghakimi yang sedang naik pangkat.” Maka jika kita ingin belajar menjadi orang baik, belajarlah dari Arafah. Dari diamnya, dari pasrahnya, dari tunduknya. Karena kadang kebaikan tak harus lantang. Ia justru lahir dari kesanggupan untuk menepi, mengalah, memaafkan, dan mengerti.
Wukuf adalah titik hening dalam riuh hidup kita, tempat di mana kita ingat bahwa menjadi manusia bukan tentang hebatnya tampil, tapi tentang lembutnya hati saat kita mampu menghilang demi yang lain bisa hadir.
Dan sebelum Arafah itu tiba, Tuhan lebih dulu memberi kita jalan persiapan: sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Ini bukan sekadar tanggal, ini adalah ruang rahmat. Kesempatan untuk memperbaiki arah, merapikan niat, dan mengembalikan hidup kita ke pangkuan Ilahi. Maka jangan abaikan puasa di dalamnya, puasa yang bukan sekadar menahan lapar, tapi menahan diri dari ingin menang sendiri. Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) mengajari kita merenung, menimbang ulang keputusan-keputusan hidup.
Lalu hari Arafah (9 Dzulhijjah), yang jika kita puasa di dalamnya, dosa kita setahun yang lalu dan yang akan datang dihapuskan. Luar biasa. Tapi lebih luar biasa lagi kalau itu membuat kita menjadi manusia yang benar-benar berubah, bukan sekadar menahan nafsu di siang hari, lalu melepaskannya lagi setelah matahari tenggelam.
Puasa di sepuluh hari awal Dzulhijjah bukanlah beban, tapi undangan cinta. Tuhan sedang mengetuk lembut kita, “Nak, maukah kau datang lebih dekat pada-Ku sebelum hari pengampunan-Ku tiba?” Maka mari kita jawab panggilan itu. Bukan karena takut dosa, tapi karena rindu disayangi. Bukan karena ingin dipandang saleh, tapi karena ingin jadi manusia yang lembut, lapang, dan tahu diri.
Di situlah pelajaran besar disampaikan dalam hening. Bahwa untuk menjadi orang baik, kita perlu wukuf di dalam diri sendiri. Kita perlu berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia yang sibuk menilai: siapa paling benar, siapa paling salah, siapa paling saleh. Kita perlu diam dan berani memeriksa luka-luka lama yang belum selesai, dendam yang masih diam-diam kita simpan, dan kesombongan kecil yang menyamar dalam bentuk kebaikan. Menjadi baik bukan berarti menjadi sempurna. Tidak ada manusia yang sempurna. Menjadi baik adalah berani berproses, mau mengakui kesalahan, dan belajar untuk tidak menyakiti walau sedang tersakiti.
Kadang kita berpikir, orang baik itu yang paling banyak amalnya, paling sering tampil dalam kegiatan sosial, paling banyak dikutip ceramahnya. Tapi barangkali, orang baik justru adalah mereka yang jarang terlihat, yang kerja diam-diam menyeka air mata orang lain, yang memaafkan dalam hati tanpa perlu orang itu tahu, yang tidak membalas hinaan dengan amarah, melainkan dengan doa.
Barangkali orang baik itu adalah mereka yang tidak pernah merasa dirinya baik. Karena kebaikan sejati tidak tumbuh dari perasaan “lebih”, tetapi dari kesadaran bahwa kita semua ini sama-sama rapuh, sama-sama bergantung pada kasih sayang Allah.
Arafah mengajari kita bahwa manusia hanya bisa berdiri kokoh ketika ia menunduk. Menunduk bukan karena lemah, tapi karena sadar bahwa kekuatan sejati bukan pada tinggi suara, tapi dalam dalamnya hati yang mampu menerima. Maka jadilah orang baik bukan karena ingin dipuji, bukan karena ingin dilihat lebih suci. Jadilah orang baik karena kita tahu dunia ini sudah terlalu lelah oleh kebencian, oleh penilaian, oleh kompetisi yang tak henti.
Kita tak perlu menunggu sempurna untuk mulai berbuat baik. Cukuplah menjadi manusia yang terus berusaha menjadi hening di tengah riuh, memberi di tengah rebut, dan memeluk di tengah caci. Dan dalam kesunyian Arafah itulah, mungkin Tuhan sedang menulis nama-nama yang Dia cintai—bukan karena besar amalnya, tapi karena lembut hatinya.