Kyai Muhaimin: Cahaya yang Pulang ke Keabadian

Spread the love

Oleh : Faisol Ramdhoni

Ada jenis manusia yang hidupnya tak pernah ramai di panggung, tak pernah meminta sorot lampu, namun diam-diam justru menjadi sumber cahaya bagi begitu banyak orang. Orang-orang seperti ini, meski langkahnya perlahan, meski pakaiannya sederhana, meski suaranya tidak lantang kecuali ketika membela kebenaran, justru dialah yang meninggalkan gema paling panjang di hati manusia. Kyai Muhaimin adalah salah satu dari mereka.

Di tanah Sampang yang keras, yang tanahnya menyimpan sejarah pertarungan batin, yang budayanya menjunjung tinggi wibawa dan kehormatan, hadir seorang kyai yang memilih jalur sepi: sederhana, apa adanya, tapi berprinsip teguh. Ia tidak mendirikan tembok tinggi agar terlihat besar, melainkan membangun jembatan sunyi agar hati-hati yang gersang bisa menemukan teduh.

Saya masih mengingat dengan jelas, tahun 2014. Kami, anak-anak muda NU Sampang, yang waktu itu mungkin lebih sering merasa pintar daripada bijak, mengambil langkah politik yang berbeda dengan mayoritas para kyai. Dalam suasana yang penuh gejolak, Kyai Muhaimin—yang kala itu menjabat Ketua PCNU Sampang—tidak marah, tidak pula menghardik. Ia justru menghubungi kami satu per satu. Ia panggil kami ke kediamannya, tanpa protokol yang ribet, tanpa pengawal yang mengintimidasi.

Dan di ruang sederhana itu, dengan wajah yang teduh, ia berkata, “Tidak apa-apa beda pilihan. Itu hak kalian. Tapi jangan terlalu vulgar di depan publik. Jangan sampai masyarakat berpikir NU pecah, jangan sampai ada asumsi santri melawan kyai.”

Kalimat itu sederhana. Tapi bagi kami yang muda, ia terasa seperti petir yang menyambar kesadaran. Kami merasa gagah berani, padahal sesungguhnya kami ceroboh. Kami lupa bahwa keberanian tanpa kearifan hanya melahirkan luka. Dan Kyai Muhaimin, tanpa bentakan, tanpa celaan, justru mengajari kami bagaimana menjaga marwah NU, menjaga harmoni sosial, menjaga agar persaudaraan tetap lebih besar daripada sekadar pilihan politik.

Sejak itu saya tahu, Kyai Muhaimin bukan hanya guru agama, ia adalah guru kehidupan.

Dalam politik, beliau bukan kyai yang gampang tergoda. Jika sudah memutuskan sesuatu, ia tegak lurus, tidak menoleh kanan kiri. Dukungan baginya bukan transaksi, melainkan amanah. Dan lebih dari itu, ia tak pernah membiarkan muridnya menempuh jalan yang kotor. Pernah ada seorang santrinya maju menjadi caleg DPRD. Di tengah hiruk-pikuk praktik politik uang, Kyai Muhaimin dengan tegas melarang: “Jangan bermain uang. Jangan rusak martabat perjuangan dengan membeli suara.”

Ketegasan itu membuat saya sering teringat pada kisah Umar bin Khattab. Bukan karena suaranya yang lantang saja, tetapi karena keberanian moralnya: tidak kompromi dengan kebatilan, tidak bernegosiasi dengan kemungkaran. Jika ada ketidakadilan, beliau berdiri di garda depan, meski harus menanggung resiko sendirian.

Dan semua itu ia lakukan bukan untuk dirinya. Bukan untuk memperluas pengaruh, bukan untuk menambah pengikut. Semuanya demi NU, demi masyarakat, demi menjaga agar kebenaran tidak menjadi barang langka di tengah gemerlap dunia.

Saya juga masih menyimpan kenangan kecil, di 2012, saat menjadi guru IPA di ruang kelas madrasah yang ia asuh. Di pesantren beliau, para santri Tsanawiyah yang masih belia, sudah begitu fasih membuka kitab kuning ketika berdiskusi tentang teori-teori biologi. Bayangkan, anak-anak seusia itu mampu mengaitkan sains modern dengan literatur klasik. Itu bukan perkara remeh. Itu pertanda bahwa metode pengajaran Kyai Muhaimin telah berhasil melahirkan kader-kader muda yang kokoh dalam tradisi sekaligus terbuka pada pengetahuan baru.

Maka saya paham, mengapa banyak orang merasa kehilangan hari ini. Sebab seorang guru bukan hanya yang mengajar dengan buku, tetapi yang menyalakan api semangat dalam jiwa muridnya. Dan api itu kini seakan meredup, karena sumbernya telah dipanggil pulang.

Beberapa tahun terakhir, kesehatan Kyai Muhaimin menurun. Tubuhnya ringkih, tapi semangatnya tidak pernah surut. Ia masih hadir di acara-acara NU, meski dengan langkah tertatih. Ia masih menulis amalan dan nasihat di lembaran kertas, lalu menggandakan dengan fotokopi, dan membagikannya pada pengurus, kader muda, bahkan hingga instansi pemerintah. Saya membayangkan, tangan beliau yang mungkin gemetar karena sakit, tetap menulis dengan sabar: satu kata demi satu kata, seakan ingin memastikan bahwa nasihat itu tidak hilang ditelan angin, bahwa meski jasadnya kelak rapuh, pesan-pesannya akan terus hidup.

Dan malam itu, tepat di malam kelahiran sang Baginda Rasulullah, Kamis 04 September 2025/ 12 Rabiul Awal 1447 H, sekitar pukul 23.10 WIB, di Rumah Sakit Qona’ah Sampang, cahaya itu akhirnya padam dari mata kita. Kyai Muhaimin wafat, setelah sekian lama berjuang melawan sakit. Kabar itu menyebar cepat, menusuk hati, seakan satu bagian dari rumah besar NU di Sampang runtuh seketika.


Bagi saya, kehilangan bukan sekadar tak bisa melihat wajah atau mendengar suara. Kehilangan adalah menyadari bahwa seseorang yang selama ini menjadi penopang, kini tak lagi bisa kita sandarkan secara fisik. Tapi kehilangan juga adalah ujian: apakah kita mampu menjaga api yang sudah dinyalakan oleh beliau, ataukah kita membiarkannya padam bersama kepergiannya.

Kyai Muhaimin mungkin sudah kembali ke pangkuan Sang Kekasih, tapi ketegasan, kesederhanaan, dan cintanya pada NU seharusnya tidak mati. Ia sudah menanamkan benih di hati kami, para murid-muridnya, kader-kader mudanya. Tugas kita kini adalah merawat benih itu, menjadikannya pohon rindang yang terus memberi teduh bagi masyarakat Sampang.

Kematian, bagi seorang pejuang seperti beliau, bukan akhir. Itu hanya perpindahan rumah, dari dunia yang sempit menuju keabadian yang luas. Yang benar-benar mati adalah jika kita melupakan teladan dan pesan-pesannya.

Hari ini, di jalan-jalan Sampang, mungkin masih ada orang yang terisak mengenang beliau. Di pesantren, mungkin ada anak-anak yang masih memegang lembaran fotokopi nasihatnya, membaca sambil berurai air mata. Di hati kami, para kader muda, rasa bersalah bercampur dengan rindu: kami pernah berbuat salah, tapi beliau tidak pernah meninggalkan kami.

Dan sekarang, justru beliau yang meninggalkan.Tetapi bukankah guru sejati tidak pernah benar-benar pergi? Ia hidup dalam doa yang terus dipanjatkan santri, dalam tradisi yang terus dijaga murid-murid, dalam keberanian untuk berkata benar meski sendirian. Selama itu semua ada, maka Kyai Muhaimin sesungguhnya masih bersama kita.

Selamat jalan, Kyai.
Engkau pulang dalam diam, namun tangismu menggema di hati kami. Engkau kembali ke rahmat Allah, namun jejakmu tetap akan menuntun langkah kami.

Sampang berduka, NU berduka, kami berduka. Tapi kami tahu, di sisi Allah engkau sedang tersenyum, karena telah menunaikan tugasmu di bumi dengan sebaik-baiknya.

Terima kasih, Kyai Muhaimin. Engkau telah mengajari kami arti kesederhanaan, arti ketegasan, arti cinta yang tulus. Kami tidak akan mampu menirumu seutuhnya, tapi kami berjanji akan mencoba menjaga warisanmu.

Dan semoga, kelak ketika kami pun dipanggil pulang, engkau menyambut kami di pintu surga, sambil berkata dengan senyum teduh yang sama: “Tidak apa-apa beda pilihan, yang penting jangan pecah.”


Spread the love

Related Articles

Latest Articles