Oleh: Zainuddin S.PdI,. M.Pd*
Kronologis panjang isu Pilkades Serentak di Kabupaten Sampang, Madura, sejak 2021 hingga 2025 adalah cerita tentang demokrasi yang tertunda, tentang harapan yang tak kunjung dijemput oleh keputusan, dan tentang desa-desa yang kehilangan ruh politiknya. Di atas kertas, Pilkades adalah ruang paling jujur bagi rakyat untuk menentukan siapa pemimpinnya. Namun dalam praktiknya, ia telah berubah menjadi panggung tarik-menarik kepentingan, tempat kekuasaan diuji dan kepentingan diuji ulang.
Awal kisah ini dimulai pada 2021, ketika Pemerintah Kabupaten Sampang berencana menggelar Pilkades Serentak Gelombang III. Sekitar 180 desa disiapkan, para calon kepala desa mulai bergerak, baliho dan spanduk sudah terpasang, dan masyarakat bersiap menyambut pesta demokrasi tingkat desa. Namun pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Pemerintah daerah memutuskan menunda pelaksanaan dengan alasan keamanan dan kesehatan publik.
Keputusan itu tampak rasional di atas kertas, tetapi di lapangan justru menimbulkan gelombang kekecewaan. Calon kepala desa yang sudah menyiapkan diri merasa diperlambat secara sengaja. “Kami sudah siap, tapi ditunda tanpa kejelasan,” keluh seorang tokoh masyarakat yang dikutip Radar Madura pada Maret 2021.
Sebagai solusi sementara, pemerintah menunjuk sejumlah Penjabat (Pj) Kepala Desa dari kalangan ASN. Langkah ini memicu gelombang baru. Masyarakat menilai proses penunjukan sarat dengan nuansa politik. Kecurigaan pun tumbuh: bahwa jabatan Pj digunakan untuk menjaga stabilitas politik lokal menjelang Pilkada berikutnya. Dalam beberapa bulan saja, tensi di akar rumput meningkat tajam. Isu penundaan Pilkades menjadi bahan perbincangan di warung kopi, langgar, hingga grup-grup WhatsApp warga.
Masuk ke 2022, situasi semakin rumit. Pemerintah daerah mulai menyusun draft Peraturan Bupati sebagai dasar hukum pelaksanaan Pilkades Serentak. Namun, pembahasan tak kunjung rampung. Setiap kali ditanya, alasannya berputar di antara “anggaran belum siap” dan “proses hukum masih dikaji.”
Ketidakjelasan ini memicu aksi damai. Ratusan warga dari berbagai desa turun ke jalan menuntut jadwal pasti. Jatimpos.co mencatat, pada 18 Mei 2022, massa berkumpul di depan Kantor Bupati Sampang membawa spanduk bertuliskan “Jangan Mainkan Nasib Desa Kami.”
Pilkades yang sejatinya urusan administratif kini berubah menjadi simbol ketidakadilan. Masyarakat melihat ada kepentingan yang lebih besar bekerja di balik layar: kekuasaan yang mencoba menjaga pengaruhnya di tingkat desa. Ketegangan itu mencapai puncak pada 2023. Tahun ini diwarnai wacana pergantian Penjabat (Pj) Bupati Sampang yaang menjadi titik balik yang paling menentukan.
Posisi Pj Bupati yang strategis itu menjadi rebutan elit politik yang sudah terbelah, karena dari kursi itulah arah kebijakan, termasuk pergantian, penunjukan dan perpanjangan masa jabatan para Pj Kades, bisa dikendalikan.
Pj Bupati dianggap sebagai “poros kunci” politik desa, sebab ia memiliki kewenangan administratif untuk menentukan siapa yang memimpin desa sementara dan secara politis, siapa yang menguasai akses dukungan massa di akar rumput. Tak heran, proses penunjukan Pj Bupati menuai sorotan luas.
Media lokal mencatat adanya dinamika kuat antara elite politik di tingkat provinsi, tokoh partai, dan pejabat birokrasi yang masing-masing berupaya memengaruhi keputusan tersebut.
Awal Januari 2024, Gubernur Jawa Timur menunjuk Penjabat (Pj) Bupati baru untuk Sampang. Tidak butuh waktu lama setelah dilantik, Pj Bupati baru melakukan rotasi besar-besaran terhadap para Pj Kades. Alasan resminya: penyegaran dan pemerataan birokrasi. Namun langkah itu justru menyalakan bara baru.
Bagi sebagian pihak, kebijakan tersebut dinilai positif karena memberi energi baru pada pemerintahan desa. Kelompok pro berpendapat, banyak Pj Kades lama yang terlalu lama menjabat tanpa progres berarti.
Namun bagi kelompok kontra, langkah itu dianggap sangat politis — bahkan disebut sebagai “pembersihan” terhadap figur-figur yang tidak sejalan dengan kepentingan politik tertentu.
Aksi protes pun pecah di beberapa titik. Ratusan warga dan aktivis berkumpul di depan Kantor Bupati menolak kebijakan itu. Di sisi lain, kelompok masyarakat yang mendukung justru melakukan aksi tandingan, menyatakan bahwa pergantian tersebut sah dan merupakan hak prerogatif kepala daerah.
Media lokal menyoroti suasana mencekam: dua kelompok massa saling berhadap-hadapan di tengah pengamanan aparat. Bentrok kecil sempat terjadi, meski berhasil diredam. Namun sejak saat itu, polarisasi di tingkat desa makin kentara. Hubungan sosial yang sebelumnya akrab, retak oleh perbedaan sikap terhadap kebijakan politik daerah.
Kebijakan Pj Bupati itu menjadi episentrum politik baru di Sampang. Desa-desa yang Pj-nya diganti mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah kabupaten. Isu-isu politik merebak, dari dugaan intervensi partai hingga tuduhan “pemasangan orang sendiri” di Pemilu 2024.
Isu Pilkades akhirnya menjadi “bola panas politik” di  tahun 2024, tahun besar bagi demokrasi nasional. Isu Pilkades terseret dalam arus besar Pilkada. Beberapa media lokal menulis bahwa sejumlah Pj Kades diduga terlibat dalam penggalangan dukungan untuk kandidat tertentu.
Di tengah suasana politik yang tegang, masyarakat desa mulai letih. Mereka kehilangan kepercayaan pada proses birokrasi yang dianggap terlalu lama dan penuh kalkulasi politik.
Lalu datanglah tahun 2025, bara itu akhirnya meledak. Setelah masa jabatan Pj Bupati berakhir, Bupati definitif hasil Pilkada sebelumnya resmi menjabat. Namun alih-alih menenangkan suasana, kebijakan yang ditempuh justru memperkeruh keadaan.
Bupati baru membalas kebijakan Pj Bupati sebelumnya dengan melakukan pembersihan besar-besaran terhadap para Pj Kades yang diangkat oleh pendahulunya, lagi-lagi dengan alasan klasik: penyegaran birokrasi.Alhasil, dari total 180 desa di Sampang, tercatat 143 desa atau lebih dari 79 persen kini dijabat oleh Pj Kades, sementara hanya 37 desa yang masih memiliki kepala desa definitif.
Kondisi di bawah semakin tidak menentu. Marak terjadi pemecatan perangkat desa secara sepihak oleh sejumlah Pj Kades yang baru diangkat. Tindakan ini jelas menyalahi prinsip keadilan dan perlindungan hukum bagi aparatur pemerintahan desa.
Banyak perangkat desa mengadu ke DPRD dan lembaga advokasi, tetapi prosesnya berlarut-larut. Sementara itu, di lapangan, suasana semakin tegang. Desa yang dulu tenang kini penuh desas-desus dan kecurigaan.
Situasi makin membara ketika pada 22 Oktober 2025 terbit Surat Kementerian Dalam Negeri Nomor 100.3.5.5/5118/BPD, yang secara eksplisit dianggap sebagian pihak sebagai perintah bagi seluruh kepala daerah untuk menginventarisasi dan mengalokasikan anggaran pelaksanaan Pilkades serentak dan antar waktu tahun 2025–2026.
Surat itu semula diharapkan menjadi titik terang. Banyak tokoh desa dan aktivis menyambutnya sebagai sinyal kuat agar Pilkades segera digelar. Namun tafsir berbeda muncul dari Pemkab Sampang. Melalui Kepala DPMD, pemerintah daerah menyatakan bahwa surat itu bukan perintah untuk melaksanakan Pilkades, melainkan hanya untuk inventarisasi data.
Pernyataan itu menyulut kemarahan publik. Sebagian masyarakat menilai, Pemkab Sampang terlalu menafsirkan surat itu secara sempit untuk mempertahankan status quo.
Polemik tafsir tersebut membakar kembali emosi yang telah lama tertahan. Hingga pada 28 Oktober 2025, ribuan massa dari berbagai kecamatan turun ke jalan. Mereka menuntut kejelasan pelaksanaan Pilkades dan memprotes kebijakan pembersihan Pj Kades dan pemecetan perangkat desa.
Aksi yang awalnya damai berubah ricuh. Bentrokan dengan aparat tak terhindarkan, dan situasi di kota Sampang menjadi tegang sepanjang hari.Di media sosial, tagar #PilkadesSampang menjadi topik panas. Video kericuhan tersebar luas, menggambarkan betapa dalam luka politik yang ditinggalkan penundaan ini.
Kronologis panjang ini memperlihatkan satu hal yang pahit: bahwa demokrasi di tingkat desa bisa goyah ketika kekuasaan terlalu sering berpindah tangan tanpa arah yang pasti. Jabatan Pj Bupati dan Pj Kades yang semestinya bersifat administratif telah berubah menjadi alat politik yang sangat menentukan arah dukungan.
Sampang menjadi cermin bagaimana demokrasi lokal kehilangan ruhnya.Kini, yang tersisa adalah ketidakpastian dan kekecewaan. Masyarakat sudah terlalu lelah menunggu hak mereka untuk memilih pemimpin secara langsung. Penundaan demi penundaan hanya memperpanjang jarak antara rakyat dan pemerintah. Dan di tengah kabut politik itu, desa-desa di Sampang seakan berdiri di tepi jurang demokrasi menanti keberanian seorang pemimpin untuk benar-benar menyalakan kembali api keadilan yang hampir padam.
*Penulis adalah Dosen Institut Agama Islam Nazhatut Thullab Sampang


