Oleh : faisol Ramdhoni
Di sebuah desa kecil yang teduh dan sunyi, hiduplah seorang lelaki tua yang bersahaja, Pak Dulla namanya. Tak banyak bicara, tak pandai menyusun kata, namun tangan dan hatinya adalah alat dzikir yang tak pernah kering. Sehari-harinya ia merawat sapi-sapi milik seorang juragan ternama di desanya. Ia tahu betul cara memilih sapi yang sehat, kuat, dan layak untuk jadi kurban. Tangannya lihai, pisaunya tajam, tapi yang paling menakjubkan dari Pak Dulla adalah ketulusannya.
Sudah lebih dari sepuluh tahun ia menjadi tukang jagal kurban saat Idul Adha tiba. Undangan datang dari berbagai penjuru desa, bahkan dari desa tetangga. Tapi tak sekali pun ia mematok harga. Baginya, menyembelih hewan kurban bukan pekerjaan, tapi bagian dari ibadah—ibadah sunyi yang tak memerlukan sorotan, hanya ridha Tuhan sebagai tujuan.
“Kalau orang lain bisa menyumbang uang dan kambing, saya cuma bisa nyumbang tenaga dan niat baik, Bu,” begitu kata-kata yang kerap ia ucapkan pada istrinya.
Sebagai gantinya, panitia kurban biasanya memberinya 2-3 kilogram daging, atau sepotong kepala sapi yang kelak diolah sang istri menjadi gulai lezat favorit keluarga. Daging lainnya diolah menjadi dendeng dan dijual di pasar. Meski hidup pas-pasan, mereka tak pernah kekurangan. Dalam hati Pak Dulla, keberkahan jauh lebih penting daripada kelimpahan.
Namun Idul Adha tahun ini terasa berbeda!
Undangan menyembelih datang dua kali lebih banyak. Mulai dari subuh hingga menjelang asar, Pak Dulla berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia bahkan tak sempat sekadar duduk lama atau minum teh. Karena terlalu sibuk, ia pun tak sempat memotong kepala sapi untuk dibawa pulang seperti biasanya. Tubuhnya lelah, tapi hatinya tetap penuh dzikir.
Di akhir hari, ia melangkah pulang hanya membawa sebungkus kecil daging dari panitia masjid yang sempat ia lewati. Tak ada kepala sapi. Tak ada senyum di wajahnya. Hanya lelah yang menggantung di kedua bahunya.
Namun rumah tak menyambutnya dengan teduh.
“Apa?! Cuma segini?! Kepala sapinya mana? Kamu ini ditipu orang? Atau memang bodoh?! Kita butuh makan, Pak! Anak-anak butuh daging buat dijual! Masak kamu kerja dari subuh cuma bawa ini?!”
Suara istrinya meledak bagai petir di langit yang mestinya suci.
Pak Dulla menunduk. Lisannya tak membalas, tapi dalam hatinya ia terus mengulang: “Hasbiyallahu wa ni’mal wakiil…”
Ia mengangguk pelan, matanya merah bukan karena amarah, tapi karena kantuk yang tak tertahan.
“Sabar, Bu, nanti sorean saya ambil satu-satu. Saya mau istirahat dulu ”
Ia masuk ke kamar, melepas ikat kepala yang masih berbau darah kurban. Lalu rebah. Napasnya berat, tapi damai. Tak lama, ia pun terlelap.
Empat jam kemudian, keramaian terdengar di depan rumah. Satu demi satu panitia kurban berdatangan, membawa kepala sapi dan daging dalam jumlah besar. Bahkan lebih dari lima kepala sapi diserahkan ke rumah kecil itu. Semuanya datang dengan niat mulia: membalas jasa Pak Dulla yang tak pernah meminta upah, namun selalu memberi sepenuh hati.
Sang istri membuka pintu dengan raut terkejut. Wajahnya bersinar melihat keberlimpahan yang datang.
“Aduh, Pak Dulla pasti seneng banget lihat ini semua. Makasih ya, Pak, Bu… Masuk, masuk…” ucapnya sumringah, sembari menata tempat duduk di teras.
Ia bergegas masuk ke kamar. Senyum masih merekah di bibirnya.
“Pak… bangun dulu, ini tamu-tamu datang bawa kepala sapi… banyak banget, Pak… kita rezeki besar, Pak…”
Tubuh suaminya digoyang pelan. Lalu lebih keras. Tapi tak ada gerak. Tak ada suara.
“Pak… ayo bangun… banyak rezeki datang…”
Namun Pak Dulla tetap diam.
Tangannya dingin.
Napasnya telah pergi.
Bersamaan dengan itu, raut wajah istrinya berubah pucat. Dunia seolah berhenti. Ia jatuh terduduk di samping tubuh suaminya. Tangisnya meledak. Tangannya mengguncang tubuh yang tak lagi bernyawa. Lidahnya mulai meracau.
“Pak… maafin saya… maafin saya ya Allah…”
Ia menjerit memanggil anak-anaknya. Tetangga-tetangga mulai berdatangan. Para panitia kurban yang tadi penuh tawa, kini hanya bisa menunduk, menyeka air mata. Wajah-wajah itu berubah duka dalam sekejap.
Sang istri terus menangis di samping jasad suaminya yang diam—terlalu diam.
“Pak .saya tadi marah,saya hina-hina kamu,saya bilang kamu bodoh… padahal kamu yang paling muli..saya.. saya belum minta maaf, Pak!Bangun, Pak!… bangun sebentar aja…”
Namun suaminya telah beristirahat, bukan untuk tidur siang, tapi untuk selama-lamanya.
Hari itu, seorang tukang jagal kembali kepada Tuhannya. Ia wafat dalam keadaan lelah karena ibadah. Tanpa sempat makan gulai kepala sapi kesukaannya, tapi mungkin di sisi Allah, ia telah disambut dengan kehormatan yang tak bisa dibeli oleh seratus kepala sapi sekalipun.
Ia mati dalam dzikir.Ia mati dalam lelah yang mulia.Dan yang tertinggal bukan hanya tangis, tapi juga pelajaran.
Pak Dulla termasuk orang-orang yang tersembunyi amalnya, yang tidak dikenal manusia namun dikenal langit—merekalah kekasih-kekasih Allah yang sejati.
Selamat Idul Adha 1446 H