Kambing Hitam

Spread the love

Oleh: Faisol Ramdhoni

Teringat obrolan dengan seorang kiai di ujung Madura. Beliau senyumnya tipis, suaranya pelan, tapi menembus jauh ke telinga hati. Katanya, “Manusia itu mirip bocah kecil. Waktu anaknya jatuh pas belajar jalan, orang tua kita dulu sering marah-marah bukan ke anaknya, tapi ke tanah. ‘Dasar sakat! Sana pergi!’ sambil injak-injak tanah. Padahal tanah nggak salah apa-apa. Atau kadang yang jadi korban katak malang lewat di samping. Katak dituduh jadi penyebab jatuh, biar tangisan anak berhenti. Itu lho, sejak kecil kita sudah diajari bikin kambing hitam. Sampai dewasa kebiasaan itu nggak hilang.” 

Barangkali inilah penyakit bangsa Indoensia ini. Bangsa yang kerap membutuhkan kambing hitam. Bangsa yang tidak berani menjadi tuan atas kesalahan sendiri. Manusia yang sulit sekali berhadapan dengan dirinya sendiri.

Ungkapan “kambing hitam” memang bukan milik kita semata. Ia lahir dari sebuah ritual kuno, Yom Kippur, Hari Pendamaian bangsa Israel ribuan tahun lalu. Dua ekor kambing dipilih. Yang satu disembelih untuk Tuhan, yang satu lagi dipanggulinya seluruh dosa umat lalu dilepas ke padang gurun. Ia disebut “ez la’azazel.” Kambing itu berjalan menjauh, membawa seluruh kotoran moral bangsa. Dan orang-orang merasa lega. Seakan-akan dengan mengusir seekor kambing, hidup mereka kembali suci.

Tetapi yang menarik, dalam ritual aslinya, tak ada syarat bahwa kambing itu harus hitam. Hitam baru ditambahkan belakangan, mungkin karena manusia sejak lama terlalu suka mengaitkan warna gelap dengan nasib buruk. Padahal dosa bukanlah persoalan warna, melainkan keberanian menatap diri.

René Girard, filsuf asal Prancis, menyebutnya mekanisme scapegoat. Masyarakat butuh kambing hitam agar kekacauan mereda. Darah atau penderitaan satu pihak dianggap cukup untuk menenangkan badai. Orang yang dipilih sering kali lemah, minoritas, atau berbeda. Ia tidak salah, tapi ia paling mudah dikorbankan. Dan setelah itu, orang-orang bisa tidur nyenyak.

Di politik, kambing hitam sudah seperti lauk harian. Jika pemerintah gagal, oposisi yang salah. Jika oposisi bersuara, rakyat dianggap terprovokasi. Jika rakyat marah, tuduhannya: ada negara asing ikut bermain. Padahal mungkin yang gagal adalah cara kita mengatur dapur sendiri.

Bukankah itu yang terjadi di negeri kita? Mei 1998, sejarah mengajarkan betapa etnis Tionghoa dijadikan korban. Mereka dituding sebagai biang krisis, padahal kerusakan terjadi karena sistem ekonomi dan politik yang rapuh. Puluhan tahun kemudian, di 2025, kita masih mendengar lagu lama: “ada campur tangan asing, ada skenario global.” Ah, berapa kali bangsa ini mau terus melempar batu ke bayangan sendiri?

Kini, dua puluh tujuh tahun setelahnya, republik ini kembali ramai demonstrasi hingga berujung rusuh dan membara. Apa komentar pejabat? Sama saja. “Ada dalang asing.” “Ada pihak yang ingin memecah belah.” Ucapan yang sama, lagu lama yang tak kunjung usang.

Padahal yang nyata adalah harga kebutuhan naik, lapangan kerja sempit, anak muda kehilangan harapan.Tapi semua itu tidak ditatap. Kita lebih suka menyalahkan bayangan.

Lalu, demi menguatkan narasi “ada pihak asing” itu, digelandanglah beberapa orang yang dianggap pantas dijadikan contoh, ditangkap, dipamerkan di layar kaca, seolah-olah semesta sedang menandatangani kebenaran tuduhan.

Padahal semua orang tahu, yang dikejar bukan kebenaran, melainkan rasa lega semu. Bahwa kambing hitam itu benar-benar ada—bukan karena ia bersalah, tapi karena bangsa ini masih gemar membangun panggung sandiwara di atas punggung orang-orang yang lemah.

Dan yang lebih memilukan, rakyat pun ikut menonton dengan tenang, seakan-akan drama itu sungguh-sungguh fakta, padahal yang sedang berlangsung hanyalah upacara pengalihan. Kita bertepuk tangan, tapi yang retak justru cermin kita sendiri. Kita beramai-ramai menyalahkan “orang lain”, tapi sesungguhnya yang kita khianati adalah kesempatan untuk menjadi bangsa yang berani jujur pada dirinya sendiri.

Begitulah kambing hitam bekerja: ia menjadi tumbal. Ia menenangkan amarah, tapi tidak menyelesaikan masalah.

Girard menyebut, mekanisme kambing hitam adalah penipuan sosial yang diwariskan turun-temurun. Kita seperti orang yang marah pada bayangan sendiri. Menyalahkan sesuatu di luar agar tidak perlu menanggung kenyataan di dalam.

Sejatinya, keberanian terbesar bangsa—dan juga pribadi—adalah mengakui kegagalan. Mengaku salah bukan kehinaan. Justru dengan mengaku salah, kita punya kesempatan untuk belajar. Tetapi bangsa ini terlalu sering sibuk mencari kambing, sehingga tak sempat memperbaiki diri.

Kambing hitam adalah simbol kemalasan spiritual. Ia adalah jalan pintas agar kita tidak perlu menghadapi kenyataan. Tetapi jalan pintas itu menipu. Kita mengira masalah selesai, padahal hanya ditunda. Kita mengira hati lega, padahal luka semakin dalam.

Kalau bangsa ini ingin dewasa, ia harus berani melepaskan kambing hitam. Kita harus belajar menatap wajah sendiri di cermin. Kita harus belajar berkata, “iya, ini salah kita.” Dan setelah itu, belajar memperbaiki dengan hati yang jernih.

Maka mari kita berhenti mencari kambing. Mari kita belajar mengaku salah. Mari kita berani dewasa. Karena hanya bangsa yang berani menghadapi kenyataanlah yang bisa tumbuh menjadi bangsa yang bermartabat.

Kalau tidak, kita akan terus hidup dalam lingkaran kambing hitam. Seperti orang yang berkelahi dengan bayangan sendiri. Berteriak, menuding, melempar batu—padahal yang pecah hanya cermin kita sendiri.

Dan kita pun lupa, bahwa yang sesungguhnya sedang kita rusak bukan kambing, bukan orang lain, melainkan wajah kita sendiri


Spread the love

Related Articles

Latest Articles