salsabilafm.com: Dewan Pers mencatat, sepanjang Januari hingga September 2025, sebanyak 878 pengaduan pemberitaan diterima oleh Dewan Pers. Data ini naik dua kali lipat jika dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 300 kasus.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Muhammad Jazuli, mengatakan, dari 878 pengaduan isi media yang ditanganinya, baru 700 lebih kasus yang telah diselesaikan oleh Dewan Pers.
“Artinya kita masih mempunyai PR sekitar 200 kasus pengaduan yang harus diselesaikan, tetapi ini kita akan genjot akhir tahun nanti harus kita selesaikan,” jelasnya, Senin (13/10/2025).
Jazuli mengaku, kasus pengaduan yang tercatat di Dewan Pers merupakan aduan yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik di sejumlah daerah. Seperti, berita yang tidak berimbang hingga tidak melakukan uji informasi maupun riset data.
“Kalau yang tidak masuk produk jurnalistik kami langsung surati bahwa ini bukan pelanggaran produk jurnalistik sehingga proses penangannya bukan lewat kami,” tutur pria yang menjabat sebagai Pimred INews Network tersebut.
Menurut Jazuli, jika berkaca pada penyelesaian kasus yang telah dilakukan, masih banyak pelaku media yang sering mengenyampingkan kaidah jurnalistik, sehingga berpotensi terjadinya konflik. Sebab, lanjut dia, 95 persen rata-rata dimenangkan oleh pengadu.
“Dalam konteks ini pengadu itu diantaranya individu, pemerintahan maupun perusahaan, yang merasa dirugikan oleh isi narasi pemberitaan. Nah, setelah kami menganalisis pengaduannya, hasilnya teradu (media mainstream atau media daring, red) lah yang banyak melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik,” jelas Jazuli.
Untuk meminimalisir angka pelanggaran kode etik, kata Jazuli, Dewan Pers akan terus berupaya menggenjot pelaku media untuk lebih meningkatkan kompetensi kewartawanannya. “Salah satunya dengan cara ikut uji kompetensi wartawan (UKW) agar produk berita yang disajikan berkualitas,” ucapnya.
Sementara, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, Lutfil Hakim, mengaku miris dengan tingginya angka pengaduan pemberitaan yang masuk ke Dewan Pers ditengah gencarnya lembaga independen tersebut melakukan uji kompetensi maupun orientasi kewartawanan dan keorganisasian (OKK).
Menurut Lutfi, selain uji kompetensi wartawan maupun orientasi kewartawanan dan keorganisasian, jurnalis harus bisa memahami kontek pemberitaan yang akan ditulis. Sebab, jika tidak, produk berita yang dihasilkan tidak akan berkualitas dan berujung konflik.
“Tidak cukup di UKW atau OKK saja, namun ada hal yang jauh lebih penting bagi wartawan, itu adalah kontek pemberitaan yang akan ditulis. Kalau tidak tahu tentang kontek yang akan ditulis, itu bisa salah semua,” paparnya.
Hal senada juga diutarakan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Andre Yuris. Menurutnya, para insan pers seringkali abai dengan kode etik jurnalistik, sehingga produk jurnalistik yang disajikan seringkali berujung pelaporan ke Dewan Pers.
Yuris menilai, banyaknya pelaporan ke dewan pers mungkin disebabkan produk jurnalistiknya yang kurang baik, sehingga memunculkan celah terhadap orang untuk menggugat, atau bisa jadi karena tidak menyetujui pemberitaan atau kurang tepat.
“Tingginya angka pengaduan saat ini bisa dijadikan pelajaran buat insan pers, khususnya di tataran newsroom agar lebih hati-hati dalam menyajikan produk pemberitaan,” harap Yuris. (Isrok)

