Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Catat Korban Keracunan MBG Capai 10.482 Anak

Spread the love

salsabilafm.com – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) pada 29 September-3 Oktober 2025 mencapai 1.883 anak. Dengan demikian, total korban keracunan MBG hingga 4 Oktober 2025 telah mencapai 10.482 anak.

Angka pekan tersebut juga lebih tinggi dari rata-rata korban MBG mingguan selama September 2025 yang mencapai 1.531 anak/minggu. Sebabnya, JPPI mendesak agar semua dapur MBG berhenti beroperasi dulu.

“Dengan data ini, kita bisa simpulkan, penutupan sebagian SPPG sama sekali tidak efektif. Selama dapur MBG masih beroperasi, korban akan terus berjatuhan. Karena itu, BGN harus segera menghentikan seluruh SPPG di Indonesia sebelum korban bertambah lebih banyak,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (5/10/2025).

Badan Gizi Nasional (BGN) semula menonaktifkan sejumlah SPPG pada Senin, 29 September 2025 usai keracunan MBG mencuat di berbagai daerah. Penutupan ini berlaku pada sejumlah SPPG yang diduga terlibat langsung dalam kasus keracunan MBG.

JPPI, kata Ubaid, sejak awal mendesak agar seluruh SPPG dihentikan sementara untuk menyelesaikan akar masalah MBG. JPPI mencatat, sejumlah akar masalah MBG di balik kasus keracunan ini mulai dari lemahnya standar pengawasan, distribusi bahan pangan yang tidak layak, hingga manipulasi data pelaporan.

Berikut tuntutan JPPI kepada BGN terkait MBG:

  • Tutup semua dapur MBG (SPPG) secara nasional sampai audit program dilakukan secara menyeluruh, transparan, dan partisipatif agar jumlah korban dan keselamatan nyawa anak tidak terancam.
  • Hapus kebijakan yang mewajibkan guru cicipi MBG.
  • Memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang dengan sadar membiarkan praktik berbahaya terus berlangsung.

JPPI menekankan, kebijakan guru mencicipi MBG merendahkan martabat profesi guru dan membuat guru rentan.

“Mereka mengemban misi mulia dalam pendidikan, bukan malah diberikan insentif murahan dengan risiko taruhan nyawa karena tugas tambahan sebagai ‘babu’ MBG,” tulis JPPI.

Ubaid juga menekankan ribuan korban keracunan MBG menunjukkan peristiwa ini tidak dapat disebut sebagai kelalaian, tetapi bentuk pembiaran dan pelanggaran tanggung jawab terhadap keselamatan anak.

Menurut Ubaid, MBG seharusnya menjadi simbol perhatian negara terhadap anak, bukan bukti abainya negara terhadap nyawa mereka. “Sudah saatnya pemerintah berhenti menutup mata dan mengutamakan keselamatan anak di atas segalanya. Janganlah jadikan anak sebagai kelinci percobaan MBG dengan mengatasnamakan program pemenuhan gizi,” tutup Ubaid. (*)


Spread the love

Related Articles

Latest Articles