Catatan Reflektif Historiografi Sampang :Dari Polagan, Roomtengah Hingga Pasedahan Banyuanyar

Spread the love

Oleh : Faisal Ramdhani*

Seorang sejarawan, budayawan dan sastrawan Indonesia, Profesor Kuntowijoyo memberikan catatan kritis reflektif dalam penulisan historiografi Indonesia. Dimana, sejarah desa hampir tidak mendapatkan tempat yang proporsional. Desa sebagai kesatuan teritorial dan administrasi lebih banyak diminati oleh peneliti diluar displin ilmu sejarah. Minat sejarawan di Indonesia terhadap penulisan sejarah desa di Indonesia dianggap kurang memiliki tantangan.
Hampir sebagian besar historiografi yang ada di Indonesia lebih dominan difokuskan pada penulisan-penulisan yang konteks peristiwa yang terjadi pada masa kolonial Belanda, sejarah politik dan sejarah golongan atas, hal ini karena menurut para sejarawan ini lebih menantang dan arah studinya lebih jelas dengan menggunakan beragam sumber-sumber primer yang bervariatif.
Begitu pula dalam penulisan histiografi Kabupaten Sampang, dari 180 desa dan 6 kelurahan yang dimiliki nyaris tidak ditemukan tulisan tentang sejarahnya masing-masing. Penulisan histiografi Sampang lebih banyak terpusat pada sejarah kerajaan dan golongan ningrat. Narasi narasi sejarah hanya berputar -putar dalam ingatan tentang Kamituwo Madegan berikut tokoh dan dinamika historisnya.
Sebuah kewajaran yang layak jika kamituwo madegan dijadikan sumber dan simbol historis karena memang banyak menyimpan situs dan catatan sejarah yang erat kaitannya dengan sejarah-sejarah kabupaten lain di Madura. Namun dalam perjalanannya, sangat disayangkan ketika kamituwo Madegan mengalami subordinasi simbolik historis.
Menempatkan diksi Polagan sebagai nama identitas wilayah tersebut seperti menegasikan lintasan sejarah nama Madegan. Padahal Madegan telah menjadi simbol sejarah yang banyak dicatat dan dikenal orang. Penamaan Polagan daripada Madegan bisa diartikan sebuah pemtusan sejarah.
Menurut Dosen Sastra UNAIR, Eddy sugiri yang mengutip pendapat Profesor Simon J Potter seorang Profesor Sejarah Modern dalam sebuah bukunya menulis bahwa penamaan itu penting. Sebab erat kaitannya dengan aspek kesejarahan, kebudayaan dan kemasyarakat yang ada di tempat tersebut. Sehingga ketika menyebutkan sebuah nama, maka akal sehat manusia bisa langsung mengenali lingkungan itu.
Dalam ilmu Linguistik yang banyak dipakai sejarahwan dikenal dengan istilah Toponimik. toponimi adalah cabang onmostika yang membahas dan menyelidiki suatu nama tempat. Tujuannya adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan nama desa tersebut sebagai bahan pembanding dan mengungkap arti nama suatu wilayah tempat manusia berkumpul dan berinteraksi satu sama lain. Sebaliknya, penamaan dapat menggambarkan unsur-unsur suatu wilayah yang berkaitan erat dengan sejarah manusia di suatu wilayah tertentu.
Atas dasar ini bisa juga dikatakan bahwa penamaan Polagan itu tidak toponimik dan tidak memiliki sejarah. Apalagi banyak orang tidak mengerti arti dari Polagan itu sendiri. Berbeda ketika diberi nama Kelurahan Madegan, maka publik akan langsung bisa memahami dan mengingat sebuah sejarah tentang asal usul dan sejarahnya.
Berbeda dengan Kelurahan Rongtengah, berdasarkan penulusuran berbagi sumber, pada tahun 1883, berdasarkan catatan dari Leiden Digital Collections di Belanda, kampung ini dikenal sebagai Roomtengah. Namun, setelah era kemerdekaan Republik Indonesia, Roomtengah berubah nama menjadi Kelurahan Rongtengah. Perubahan namanya tidak terlalu siginifikan, masih memiliki akar kesejarahan yang kuat.
Meskipun, sejarah Rongtengah kurang dieksplorasi dalam sebuah tulisan histiografi desa. Padahal, konon di catatan itu nama Roomtengah itu identik dengan sebuah situs lembaga pendidikan tertua saat kolonial Belanda di Sampang. Sampai sekarang bangunannya masih ada yakni Gedung yang saat dipakai SDN Rongtengah 1 Sampang.
Hal menarik lainnya, ditemukan di Kelurahan Banyuanyar, didapati dokumen surat tanah pada tahun 1928 dan dokumen pertanahan lainnya bahwa Wongso Sastro menjadi Penguasa awal desa tersebut dan dijuluki Pasedahan. Julukan ini berbeda dengan gelar yang disematkan pada pimpinan pemerintahan desa lazimnya seperti kamituwo, padukuhan, kerio dan sejenisnya.
Salah satu sumber mengartikan kata Pasedahan ini merujuk pada istilah bahasa Bali untuk Pendapatan, yang sering digunakan sebagai bagian dari nama instansi pemerintah daerah di Bali, seperti Badan Pendapatan Daerah / Pasedahan Agung. Sumber lainnya, di dasarkan kitab Raden Toemenggoeng Ario Nitieadiningrat yang ditulis pada tahun 1914. Di dalam kitab tersebut menceritakan bahwa Pasuruan berasal dari bahasa jawa yaitu “soeroehan” yang artinya kongkonan, dalam bahasa kromo yaitu “Pasedahan” yang artinya tempat pemanggilan atau dipun aturi. Pasedahan itu berasal dari bupati-bupati yang ada disana yang dulunya sering menjadi suruhan para pembesar harta perkara perang. Pada masa Belanda diberi nama “Pasaroewang”, yang diperkirakan pada tahun 1850-1880.
Ada kesamaan dari kedua sumber di atas bahwa arti Pasedahan ini erat kaitannya dengan pendapatan dan keuangan. Pasedahan memiliki tugas untuk menarik pajak dari pedagang, petani, nelayan yang ada di wilayah tersebut.
Penelusuran cerita lisan, Pasedahan Wongso Sastro selaku kepala desa dulunya memang sering menerima hasil bumi dari petani dan hasil melaut dari para nelayan. Menjadi penguasa dan pengelola pemerintahan desa kurang lebih selama 50 tahun, kemudian diturunkan ke putranya yang bernama Mohammad Saleh Wongsotruno sebagai Kepala Desa hingga tahun 70 an karena ada pergantian status dari desa menjadi kelurahan.
Pertanyaannya kemudian, Apakah julukan Pasedahan ini hanya berlaku di desa Banyunyar atau juga menjadi tugas utama pemerintahan desa di Sampang pada jaman dulu?. Atau juga, Apakah penamaan desa-desa di Sampang sudah sesuai dengan kesejarahan yang dimilikinya?.
Di sinilah, hikmah dari penelusuran sejatrah di tiga kelurahan itu, mengingatkan akan pentingnya penulisan sejarah lokal desa untuk melestarikan nilai-nilai lokal, memperkuat identitas dan kebanggaan masyarakat, serta menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan desa yang lebih baik. Sejarah desa juga bermanfaat sebagai sumber inspirasi dan edukasi bagi generasi muda, serta dapat memberikan wawasan dalam memahami peristiwa sejarah yang lebih besar. 
Terkadang banyak dari kita yang bertanya, mengapa perlu memahami dan menulis sejarah desa? Pentingnya memahami sejarah desa bukan hanya tentang mengingat masa lalu, melainkan sebuah cara untuk menjaga identitas masyarakat yang ada di desa. Dengan mengenal sejarah desa, kita menjadi lebih terhubung dengan akar budaya, warisan nenek moyang, dan tradisi yang telah membentuk komunitas di mana kita hidup hari ini.
Banyak orang mengabaikan sejarah lokal, berpikir bahwa pengetahuan ini tidak relevan dengan kehidupan modern. Namun, sejarah desa memberikan konteks yang penting untuk memahami bagaimana suatu komunitas berkembang, apa nilai-nilai yang dimiliki, dan bagaimana masyarakat bisa bersatu dalam berbagai tantangan. Mengenali sejarah desa dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai siapa diri kita sebagai bagian dari komunitas tersebut.
Boleh saja seseorang lebih mengnela sesuatu yang bersifat nasioanal dan populer karena dipandang lebih bersifat superior dari yang bersifat lokal. Namun jangan dilupa bahwa kekayaan nasional berangkat dari kekayaan lokal. Kekuatan suatu daerah bersumber dari kekuatan desa.
Kecenderungan penulisan sejarah yang nasional dan populer sentris ternyata berpotensi mengabaikan realitas dinamika sosial yang majemuk, yang ada di masing-masing desa yang bersifat lokal, Dikhawatirkan seseorang tidak akan bangga dengan desanya, di bumi yang ia pijak dan dilahirkan. Padahal ada peristiwa penting di desa itu yang bisa dijadikan inspirasi. Ada nilai dan keteladanan di desa itu untuk terus dirawat. Dari alasan inilah, kiranya sudah saatnya perlu ada dorongan untuk menggali sejarah lokal dan mendokumentasikan melalui karya tulis atau menulis sejarah lokal.


Spread the love

Related Articles

Latest Articles