Oleh: Muhllis YZ
Di pesantren, terkadang semangat belajar itu naik-turun. Ada hari ketika kitab kuning terasa ringan dibaca, dan ada hari ketika satu halaman saja seperti memikul lemari perpustakaan di punggung. Dalam momen-momen sulit itulah, kisah seorang ulama besar bernama Ibnu Hajar al-Asqalani bisa menjadi sumber energi yang tak pernah habis.
Ibnu Hajar—ulama besar ahli hadits—bukanlah orang yang sejak awal dikenal jenius. Bahkan, ketika masih muda, beliau sering merasa sulit memahami pelajaran.
Otaknya terasa seperti tembok yang menolak semua huruf yang coba dimasukkan. Hingga suatu hari, sebuah pemandangan sederhana mengubah hidupnya.
Beliau melihat sebuah batu besar yang keras, namun di tengahnya ada lubang. Lubang itu bukan bekas pahat atau pukulan, melainkan hasil tetesan air yang terus-menerus jatuh di titik yang sama. Air yang lembut, bahkan nyaris tanpa tenaga, ternyata mampu menembus batu yang keras—asal dilakukan tanpa henti.
Dari sanalah beliau mengambil pelajaran: jika air yang lemah bisa mengalahkan batu yang kuat, maka ilmu yang sedikit-sedikit tapi terus-menerus akan menembus hati dan pikiran yang awalnya terasa keras. Sejak hari itu, beliau tekun belajar, sedikit demi sedikit, tanpa menyerah. Hasilnya? Beliau tumbuh menjadi salah satu ulama paling berpengaruh di dunia Islam, karya dan ilmunya masih menjadi rujukan hingga berabad-abad setelah wafatnya.
Pelajaran ini amat relevan bagi para santri. Jangan terjebak pada rasa minder ketika merasa lambat memahami kitab. Ingatlah, yang penting bukan seberapa cepat kita menguasai, tetapi seberapa konsisten kita berusaha.
Kalau hari ini hanya mampu menghafal satu baris nadzam Khoridatul Bahiyah, Nadz Maqsud, Imrihti dan atau Alfiyah ibn Malik sekalipun, hafalkanlah. Kalau hanya kuat membaca satu halaman, bacalah. Karena seperti tetesan air, setiap usaha yang istiqamah akan membuat perubahan besar—meski mungkin kita baru menyadarinya setelah bertahun-tahun.
Pesan Imam Syafi’i: Lelah Itu Pilihan, Bodoh Juga Pilihan
Imam Syafi’i pernah berkata:
“Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.”
Kalimat ini terdengar tegas, bahkan sedikit menusuk hati. Tapi di balik ketegasannya, ada kebenaran yang tak bisa dibantah. Belajar memang melelahkan—membaca, menghafal, menulis, memahami—semuanya membutuhkan tenaga, waktu, dan pikiran. Namun, kebodohan jauh lebih melelahkan di masa depan.
Bayangkan, ketika orang lain bisa berbicara dengan ilmu, kita hanya bisa diam. Ketika orang lain bisa memimpin dengan bijak, kita hanya bisa mengikuti. Ketika orang lain memecahkan masalah, kita bahkan tak paham letak masalahnya. Itulah “kelelahan” yang jauh lebih pahit daripada duduk di depan kitab semalaman.
Maka, lelah di jalan ilmu adalah investasi, sedangkan kebodohan adalah hutang yang harus dibayar mahal di kemudian hari. Pilihannya ada di tangan kita.
Pilihan Ada di Tanganmu
Santri, tanyakan pada dirimu sendiri:
Maukah engkau menjadi batu yang keras—tetap keras selamanya—atau air yang lembut namun sanggup membuat lubang pada batu?
Maukah engkau merasakan letih hari ini untuk memetik manisnya ilmu di masa depan, ataukah memilih santai sekarang lalu menanggung pahitnya kebodohan sepanjang umur?
Ingat, setiap tetes air yang jatuh hari ini adalah modal untuk menembus batu besarmu esok hari.
Setiap lembar kitab yang engkau baca hari ini adalah pondasi yang akan menopang langkahmu kelak.
Setiap lelah yang engkau tahan hari ini adalah harga yang engkau bayar untuk kemuliaan dirimu di masa depan.
Jangan tunggu besok untuk mulai meneteskan air itu. Mulailah sekarang. Tetaplah menetes. Tetaplah belajar. Sebab yang menang bukan yang paling cepat, tapi yang tak pernah berhenti. (*)
*Penulis merupakan anak petani desa yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Assirojiyyah yang sekarang kebetulan menjadi jurnalis.