Semerbak Melati di Taman Queen

Spread the love

Oleh: Faisol Ramdhoni

Langit kota tak pernah benar-benar gelap. Tapi Ahmad merasa telah lama berjalan dalam malam. Lampu-lampu neon menyala seperti ribuan nyala nafsu, namun tak mampu menuntun batin yang sedang meraba arah. Dunia perdagangan yang kini dimasukinya tampak gemerlap di luar, tapi sunyi di dalam. Ramai oleh suara, tapi kosong dari makna.

Ia merasa seperti menginjak tanah yang tak dikenali aroma dan nadinya. Di sanalah ia—seorang lelaki kampung dari Sampang, anak desa yang sering berlagak kota—berdiri di antara perempuan-perempuan cemerlang, perempuan shalihah dari jantung metropolis. Mereka lebih pandai berkata, lebih sigap bertindak, dan lebih harum dalam keberanian. Ahmad sendiri, di tengah lingkaran itu, hanyalah suara kecil yang lebih banyak gugup daripada sanggup.

Hari itu, ketika mereka mengusulkan nama “The Queen” sebagai nama tim, Ahmad hanya mengangguk pelan. Sungguh, ia tak tahu apakah anggukannya saat itu adalah tanda setuju atau sekadar bentuk kekaguman pada kepercayaan diri mereka.

 Namun satu hari kemudian, nama itu membawanya pada suatu perjalanan batin yang panjang. Queen — Ratu — dan di Madura, khususnya di tanah Sampang tempat nadi sejarahnya berdenyut, kata “Ratu” bukan sekadar simbol kekuasaan, tapi lambang kemuliaan. Rato Ebhuh, sang perempuan yang menjadi asal mula para pemimpin besar Madura dari ujung barat hingga Pamekasan, adalah bukti nyata bahwa kemuliaan tak selalu bertakhta dalam laki-laki.

Satu tahun sebelumnya, Ahmad menziarahi makam Rato Ebhuh. Di sana, semerbak melati menyambutnya seperti aroma dari langit. Wangi itu bukan sekadar wangi bunga, tapi wangi harapan dan kasih sayang. Saat ia bersimpuh di pusaranya, waktu terasa terhenti. Seperti sedang bertemu dengan ibunya sendiri. Seperti bertemu dengan surga yang tertanam di bumi.

Di bawah rintik gerimis dan langit yang muram, Ahmad membiarkan pipinya dibasuh oleh sesuatu yang lebih dalam dari hujan. Seorang lelaki tua yang entah dari mana datangnya duduk tak jauh darinya. Berjubah putih pudar, wajahnya keriput, seperti kitab tua yang dipelihara waktu.

“Wahai Ahmad,” katanya lirih, “melati tidak tumbuh di tanah keras. Ia hanya mekar di tanah yang basah oleh doa dan direndahkan oleh cinta.”

“Siapakah beliau sebenarnya?” tanya Ahmad lirih, menunjuk pusara.

“Beliau adalah ibu dari tanah ini. Ia tidak memerintah, tapi semua pemimpin lahir dari rahim cintanya. Ia tidak menduduki singgasana, tapi seluruh tanah ini bersujud di bawah kasihnya.”

Maka ketika “The Queen” diajukan sebagai nama tim kerja, Ahmad tak lagi memandangnya sebagai lelucon dunia modern. Ia mulai melihatnya sebagai isyarat. Sebuah tanda yang datang dari langit dan diturunkan lewat ingatan.

Perempuan-perempuan yang bersamanya bukan sekadar kolega. Mereka adalah penjaga harmoni, para pemelihara semesta dalam versi tersembunyinya. Mereka adalah ratu—bukan karena kekuasaan, tapi karena mereka bisa mengampuni dunia yang terus menyakiti mereka.

Salah satu dari mereka, Dinda, adalah perempuan paling tenang yang pernah Ahmad temui. Suatu sore, ketika waktu rapat telah lewat dan sisa cahaya sore menggantung di jendela, Ahmad memberanikan diri bertanya.

“Din, kenapa kamu setuju dengan nama Queen?”

Dinda menatap Ahmad, lalu tersenyum dengan senyum yang tak dibuat-buat.

“Karena perempuan selalu jadi ratu, Mas Ahmad,” ujarnya, “meskipun seringkali ia memerintah hanya dengan diamnya.”

Ahmad tercekat. Kata-katanya seperti ayat yang belum ia hapal, tapi langsung mengendap di hati.

Di tengah hiruk-pikuk dunia jual beli, Ahmad belajar bahwa perempuan bukan sekadar mitra kerja. Mereka adalah cermin dari ibu, guru, dan kekasih yang sejati. Ia teringat bait puisi penyair Madura  Kyai Zawawi Imron, yang dulu dibacakannya di malam sunyi:

Kalau aku ikut ujian, lalu ditanya tentang pahlawan,
Namamu, Ibu, yang ‘kan kusebut paling dahulu…

Begitulah perempuan. Ia tak perlu duduk di singgasana untuk menjadi ratu. Ia cukup hadir sebagai doa yang dijalani, bukan hanya dipanjatkan. Dalam senyumnya ada sabar, dalam diamnya ada pengampunan, dalam langkahnya ada jejak suci para ibu yang menggendong dunia tanpa pernah minta dibalas. Dan Ahmad, dari balik layar dunia dagang yang kering dan penuh perhitungan, menemukan kelembutan yang menyejukkan dada—sebuah taman batin yang tidak bisa dibeli, tapi bisa dipelajari.

Ahmad lalu teringat pada warisan leluhurnya yang sering disampaikan oleh kakeknya di antara jeda adzan dan iqamah: bhuppa’, bhâbhu’, ghuru, rato. Urutan cinta dan hormat yang menjadi falsafah hidup orang Madura: ayah, ibu, guru, pemimpin.

Dan kini, di ruang kerja yang jauh dari desa, Ahmad menyaksikan falsafah itu hidup kembali. Ayah adalah kegigihan para perempuan yang tetap kuat di tengah tekanan. Ibu adalah kelembutan mereka yang menguatkan satu sama lain tanpa saling menyalahkan. Guru adalah mereka yang mendidik lewat keteladanan, bukan ceramah. Dan Ratu adalah jiwa mereka yang memimpin tanpa harus memerintah. Memuliakan tanpa perlu dimuliakan.

Suatu malam, Ahmad bermimpi berada di taman. Taman itu tidak luas, tapi harum melatinya menyelimuti dada. Di tengah taman, duduklah seorang perempuan berjubah putih. Wajahnya bersih, matanya menyimpan samudera yang tak bertepi. Ia memanggil Ahmad dengan suara yang lebih lembut dari nyanyian angin di bukit.

“Ahmad,” ujarnya, “kau tahu apa yang lebih tinggi dari tahta?”

“Tidak,” jawab Ahmad perlahan.

“Kerendahan hati,” katanya. “Ratu yang sejati tidak duduk di singgasana. Ia duduk di hati orang-orang yang ia cintai.”

Ahmad menangis dalam mimpi itu. Dan saat terbangun, matanya masih basah, dan wangi melati tercium samar dari ujung sajadah.

Keesokan harinya, Dinda bertanya, “Mas Ahmad, ini harum apa ya? Kok seperti wangi bunga?”

Ahmad hanya tersenyum.

“Wangi doa, Din,” jawabnya singkat. “Wangi yang tumbuh dari hati yang tidak minta dikenang.”

Dan sejak hari itu, Ahmad tak lagi menganggap dirinya sekadar bagian dari tim. Ia merasa sedang dituntun untuk memahami, bahwa tempat kerjanya adalah taman. Taman di mana melati-melati jiwa mekar dari keikhlasan. Taman di mana ia—si satu-satunya lelaki—tidak hadir untuk memimpin, tapi untuk belajar sujud.

Sebab bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu.”


Dan bukankah Uwais al-Qarni menjadi mulia bukan karena kekuatannya, tapi karena cintanya kepada ibunya?

Kini Ahmad tahu, The Queen bukan sekadar nama. Ia adalah pelajaran. Ia adalah puisi dalam kerja. Ia adalah zikir dalam tanggung jawab. Ia adalah panggilan bagi Ahmad untuk kembali menjadi manusia yang tahu bahwa di bawah kaki ibu-lah surga itu tersembunyi. Bahwa perempuan bukan untuk dikagumi, tapi untuk dihormati, dipelajari, dan didoakan.

Dan semerbak melati itu, Akan terus tinggal dalam dadanya. Mekar dalam sanubari, Mendoakan dalam sunyi. Menjadi Ratu bagi hati yang tak pernah ingin memerintah apa-apa. Hanya ingin mencintai, dan diterima dalam cinta-Nya.Watamama Mahabbatika Ya Allah!


Spread the love

Related Articles

Latest Articles